Friday, June 14, 2013

Anakku lagi-lagi membelajarkanku


Kadang-kadang, kita terlalu keras pada diri kita dan menganggap bahwa diri kita kurang hanya gara-gara kita terlalu terpaku pada hasil. Kita kadang lupa menghargai proses berat yang telah kita lalui.

Kalau orang lain tidak memperhitungkan proses kita, mungkin itu wajar karena mereka tidak melihat atau merasakan upaya keras kita. Hal ini mungkin bisa dimaklumi. Namun diri kita!Kita tahu apa yang telah kita upayakan.

Kita perlu menghargai diri kita dan membawa diri kita bersyukur kepada Allah SWT yang telah menfasilitasi kita melalui proses tersebut. Bukankah semua kekuatan bersumber dari-Nya?

Menilai hasil memang penting, namun menilai sebatas hasil adalah hal yang kurang produktif dalam hidup ini. Bisa jadi, proses yang begitu berharga memberikan hasil yang belum memuaskan. Namun jangan lupa, bisa jadi itu pertanda langkah pertama dari puluhan/ratusan langkah menuju suatu kesuksesan.

Itulah pelajaran yang kudapatkan dari kejadian kemarin malam.
Kejadian apa gerangan?

Kemarin malam, saat saya sedang asyik membaca di kamar, sikecilku datang dengan wajah cemberut. Saat kutanyai, dia malah menangis. Oh my God, rupanya dia kecewa dengangambarnya. Saya tahu, bahwa dalam dua malam, dia sibuk menggambar. Beberapa hari lalu, dia sih bilang dia mau ikut kompetisi merancang helm. Namun baru kemarin malam saya paham hubungan antara rancangan helm dan gambarnya.
Sambil nangsi, sikecilku bilang kalau gambarnya tidak cocok untuk helm berdasarkan komentar si Kakak. Entah apa komentar Kakak yang membuat adiknya sedih sekali. Saya tahu si Adik frustasi karena tak mungkin lagi dia merancang hal baru sedangkan keesokan harinya,rancangan harus dikumpulkan ke sekolah.Suami saya mulai komentar. Suamiku pun kuberi signal pertanda saya siap menangani masalah si Adik. Setelah kami hanya berdua di kamar, saya mulai menerapkan teorireinforcement.
Saya berusaha meyakinkannya bahwa disainnya itu sangat spesial karena memang spesial buatku. 
Saya bilang “Ibu loh tak bisa menghasilkan karya sebaik ini, separuhnya pun Ibu tak sanggup.

Saya menasehatinya
. “Ini adalah hasil kerja keras, hasil imaginasi yang luar biasa. Ini adalah rancangan yang belum pernah ada. Ini karya baru. Ini hasil ketelatenan. Saya yakinkan bahwa saya percaya, kurang dari 10% dari temannya yang bisa menghasilkan karya sebagus ini. Saya berharap, dia mengapresiasi karya yang telah dibuatnya dengan susah payah.

Saya katakan, 
saya sendiri, kadang-kadang butuh waktu 2 minggu utk menghasilkan hanya 5 halaman tulisan yang bagus. Lah ini hanya 2 malamDe Fida sangat pantas bersyukur pada Allah.” 

Dia diam mendengar. Dia berhenti menangis, lalu bilang, 
tapi kerja saya lambat.” Kujawab,“Semua pekerjaan yang dikerjakan secara rinci atau telaten membutuhkan waktu. Saya pernah ke penjual batik di Madura dan ternyata batik-batik yang cantik itu ada yang dibuat selama satu bahkan tiga bulan. Padahal satu batik loh.

Si kecilku bertanya "kok bisa?". Kujelaskan bahwa seperti itulah karya bermutu. Seorang profesional pun kadang-kadang harus menghabiskan waktu banyak untuk satu karya. Cuma kalau divideokan, tentu seakan-akan bisa selesai dalam waktu singkat.

Saya pun berkesempatan mengenalkannya satu konsep, yaitu copyright.
Saya bilang “Dari pengalaman menghasilkan satu rancangan, Adik tahu bahwa ini butuh waktu, butuh kreatifitas, proses berpikir keras, dan lain-lain. Ini karya asli, bukan hasil jiplakan. Nah, kalau karya Fida yang bagus ini, di copy orang lain, diakui sebagai karya orang lain, bahkan diperjualbelikan, ini namanya melanggar copyright dan malah bisa berakibat masuk penjara atau didenda uang.” 

Hmmm, kelihatannya dia mulai tenang. Sambil kupijat, 
dan kucium dahinya beberapa kali. Saya pun membujuknya untuk shalat berjamaah Isya.

Sehabis shalat, saya membolehkan dia melanjutkan mewarnai gambarnya. 
Dia bilang “Kok Ibu membiarkan saya telat tidur” Maklum, saya sering bilang harus tidur sebelum jam 10. Saya set up alarm setiap 15 menit. Janjinya sih mau kerja sekitar 45 menit lalu tidur. Saya pun jadi menungguinya sambil nulis note di kamarnya.

Sedangkan si Kakak, juga baru menyelesaikan tugas menggambarnya. Wow, ternyata si Kakak juga pintar menggambar. Saat kubilang, 
padahal Kakak kan tidak senang menggambar. Katanya, "saya menggambar hanya karena alasan tugas dari sekolah". Hmmm, fenomena menarik.

O'o.
Dalam pikiranku, untung 
Kakak sering dapat tugas menggambar dari sekolah, sehingga potensinya bisa dikembangkan.

So what? Peran saya malam ini hanyalah mem
otivasi anakku dan mendampinginya. Saya sama sekali tidak punya keahlian dalam seni. Kata anakku, kok Ibu tak bisa menggambar?Kujawab, maklumlah, ibu ini orang desa yang tak punya fasilitas dan sekolah seperti kalian.Seperti yang kutuliskan di note sebelumnya. Saat kecil, mainanku hanya renang pagi dan sore di sungai yang dipenuhi sampah. Kadang tidak pakai sabun melainkan pakai daun-daun untuk menggosok daki di badan. Keberuntungan yang dihadapi anakku tentunya karena pendidikan yang membawa kami ke kehidupan yang lebih kondusif.

Anakku, semoga pendampinganku malam ini memberi makna dalam proses pembelajaranmu.
Sebagai penutup, mari terus memotivasi anak-anak kita. Apa makna tambahan dari kejadianini?Kita tak harus ahli dalam bidang A untuk bisa memotivasi anak dalam bidang A. Aha, kita tidak harus ahli dalam matematika, sains dll untuk bisa memotivasi anak didik kita dalam bidang tersebut. Semoga catatan ini bermanfaat bagi pembacanya.

Saturday, December 3, 2011

Harry Potter and the Deathly Hallows


  
            Harry Potter is the boy who lived from one of the deadliest curse in the world. The one who tried to kill him but failed is called Lord Voldemort. He didn’t just try to kill Harry who was still a baby, but he also killed both of his parents. Lord Voldemort was the most powerful wizard in his time. He killed lots of famous wizards and witches at that time, but he couldn’t kill Harry who was still a baby. That is why he is famous. But he’s not famous only because of that, he’s also famous because on the same night Lord Voldemort tried to kill him, He-Who-Must-Not-Be-Named (Lord Voldemort) disappeared into thin air. Since then, Harry always found trouble with his friends at Hogwarts (School of Wizardry and Witch Craft) that always connects to Voldemort.

            In the sixth series of Harry Potter, he found out that Voldemort could never be killed if he and his friends doesn’t destroy all of Voldemort’s horcrux (a very dark magic) so in this series Harry had to move from Privet Drive (his aunt and uncle’s home) to The Burrow (the Weasley’s house) because he has come of age and he needs to attend Bill and Fleur’s wedding. His friends and the Order of the Phoenix helped him move because they all knew that there would be Death Eaters (Voldemort’s army) waiting for him. But they made it safely.

            The next day after he arrived at The Burrow, they all attended the wedding, but suddenly the Death Eaters disturbed them so they all ran for it. Harry, Ron, and Hermoine Dissaperated to a muggle (non magical folk) city. There, they met two Death Eaters that tried to capture them. But in the end, they won against the Death Eaters and went to Grimmauld Place (Harry’s godfather’s home).

 At Grimmauld Place, they made a plan to get into The Ministry of Magic because they found out that one of the horcruxes is there. Once their plan has finished, they went to The Ministry of Magic and they succeeded to get the horcrux. They then Dissaperated to the middle of a forest they once came to. There, they tried to find a way to destroy the horcrux. They always move places because they were scared that one of the Death Eaters might find them. So they kept on moving. One day, Harry and Ron had a fight so Ron left Harry and Hermoine together.

Weeks after the fight, Harry decided to go to Godric’s Hollow (where he was born). At Godric’s Hollow, he and Hermoine met Bathilda Bagshot (Dumbledore’s friend). They were invited by Bathilda to go to her house, but when they arrived at Bathilda’s house, they found out that she wasn’t really Bathilda. It was actually Voldemort’s snake, Nagini who disguised as Bathilda. They soon had a fight with Nagini. While they were fighting, Harry’s wand broke into two pieces. But soon he and Hermoine escaped.

The day after that, while Harry was securing the area, he saw a Patronus shaped as a female deer. He then followed the Patronus and ended being near a lake. The Patronus changed into a simple light and then disappeared under the frozen lake. Harry also went to the middle of the lake and looked into the lake. He saw the light disappearing and saw a sward. He straightaway recognized it. It’s the sword of Godric Griffyndor. He then took his clothes off and made a hole in the lake. He dived into the lake while shivering because it was winter. But when he was in the water, the horcrux around his neck pulled him up to the surface of the water. He struggled to let it go, but it was useless. Suddenly someone helped him and took the sword. When he took on his glasses, he saw a man. He was so surprised to know that, that man was actually Ron. He told Ron to destroy the horcrux around his neck using the sword. So then Ron did.

Early in the morning, Harry and Ron returned to the tent where Hermoine was at the moment. Hermoine asked where Harry has been because she was so worried, but then she saw Ron carrying his bag, the sword of Griffyndor, and the horcrux. Hermoine suddenly became angry to Ron because he had left her for weeks. So Ron and Hermoine hardly talked to each other for the whole day.

           The next day, Hermoine told Harry that she wanted to go to meet Xenophilius Lovegood to ask about a symbol that he was wearing at Bill and Fleur’s wedding. So then the next day, they went to Luna and her dad’s house. When they arrived there Mr. Lovegood let them in and poured them some tea. He looked as if he didn’t sleep for weeks as was very worried. So Harry, Ron, and Hermoine asked Mr. Lovegood about the sign that he was wearing around his neck and he told them. He told them that it’s a symbol for The Deathly Hallows. When they wanted to leave, some Death Eaters came and destroyed the house. They straightaway hold each other’s hand and Dissaperated.

 They arrived at the same forest where they once came to. That night, they talked about what they have heard from Mr. Lovegood, but while they were talking, Harry accidentally said the word “Voldemort” and a couple of Death Eaters came. The Death Eaters took them to the Malfoy’s place, where Voldemort was staying. Fortunately at that time Voldemort was going over seas. The Death Eaters kept them as their prisoner with Luna, Griphook, and Ollivander (wand maker). But then Dobby came to their rescue. All of them came out of the prison and fought with the Death Eaters there. Harry took some of their wand and Dissaperated with Dobby and the others, just in time before Voldemort gets back.

They Dissaperated to Bill’s house. Unfortunately, when they arrived there, Dobby was killed by Bellatrix’s sword. That night, the three of them talked to Griphook and Ollivander. They discussed about the Elder Wand (one of the Deathly Hallows) with him and asked Griphook if he would help them to get into one of the banks where Griphook used to work. He agreed. So they spend their time in a small room making a perfect plan to get into the bank for weeks.

The day finally came. They were going to rob the bank that day. So they went to Gringgots and stole the horcrux there. Harry, Ron, and Hermoine escaped, but Griphook didn’t. The next night, he realized that the second last horcrux was at Hogwarts, so they all straight away went to Hogsmeade. At Hogsmeade, they met Aberforth who helped them into the castle. They then found themselves in the room of requirements that has changed into a sleeping chamber for the children who were hiding from the Death Eaters at Hogwarts. They were all happy to see each other. Harry then went to look for the other horcrux using his invisibility cloak (also one of the Deathly Hallows). While he was looking for it with Luna, a Death Eater found them. And so the Death Eaters called Voldemort. Harry and Luna then told their teachers, so they went to evacuate the students who are still under age and let the students who where old enough to get ready for war.

Once Voldemort arrived with all the Death Eaters, the war started. At that time, Ron and Hermoine were looking for a Bassilisk’s fang to destroy the horcrux they found at the bank. When they found it, Hermoine straight away destroyed it. While everyone was fighting, Harry went to the Shrieking Shack where Voldemort was with Nagini, Snape, and some of the Death Eaters. After Voldemort talked to Snape, he killed him. Snape didn’t straight away die, but before he did, he told Harry to come out of his hiding place and take his memory. Harry did what Snape told him to do. He ran back to the Dumbledore’s office and took the pensive out of its place. He watched Snape’s memory and finally found the answers he was looking for. Harry just found out that he was also a horcrux. 

He then went back to Voldemort and let him kill him (Harry). After he thought he was dead, he saw Dumbledore near him. So then he talked to Dumbledore. He also asked him a few questions about Voldemort and him. Through Dumbledore, Harry knew that he was still alive. So he opened his eyes a bit and saw Voldemort on the floor. A few seconds later, Voldemort got up and asked one of the Death Eaters to check, if Harry was still alive or not. That woman felt his chest. She was checking whether Harry was still alive or not. She straightaway knew that he was still alive but she asked Harry something. She asked him whether her son was still alive at Hogwarts or not. And Harry replied “yes”. So, the Death Eater lied to Voldemort about Harry. She said that he is already dead but he wasn’t actually dead. Voldemort told Hagrid to carry Harry to Hogwarts to show everyone that Harry is already dead.

When they were all in front of Hogwarts, Voldemort told Hagrid to put Harry down. Voldemort then told everyone inside the castle that Harry was dead. Everyone at Hogwarts screamed his name. Some were even crying. Suddenly, an army of monsters came and attacked Voldemort and the Death Eaters. At that time Harry got to his foot and put his invisibility cloak on. He also gave Neville the sword of Griffyndor and told him to kill Voldemort’s snake, Nagini. Even though Neville didn’t know who told him to kill the snake, but he still did. Voldemort was furious and then he went into the big hall at Hogwarts with the Death Eaters where all the students were. So they fought again. Voldemort was fighting with Mrs. McGonagall, Kingsley, and Slughorn. And Bellatrix was fighting with Mrs. Weasley. A few seconds later, Bellatrix got hit with a curse. And then she died.

 At the exact moment, Voldemort was able to make his three opponents fall. But suddenly Harry showed up. He was ready to fight Voldemort. Suddenly the whole hall became quiet. It was as if Harry and Voldemort are the only living creatures there. Harry and Voldemort haven’t started to fight. Harry was still telling Voldemort why the Elder Wand won’t work well in his hand (Voldemort’s hand). At the end, Voldemort became so angry and tried to kill Harry with another curse. But at the same time Harry took out his wand and said a spell. Everyone else who was staring was so scared. They didn’t want Harry to lose. Suddenly there was a big explosion and Voldemort disappeared.

At once everyone there screamed and shouted at Harry. The first ones who reached Harry were Ron and Hermoine. They hugged each other and then went to the principal’s office. Harry was bringing two wands. The other wand is the Elder Wand. He wanted to return it to Dumbledore’s office. When they came to Dumbledore’s office, the principals before Dumbledore clapped their hands for Harry. But before he returned Dumbledore’s wand, he used it to repair his phoenix wand. He and his friends were surprised that it worked. The wand was back to normal and looked new. Everyone was so happy.

THE END

Pengalaman dalam melatih komunikasi Anak (Bagian 1)


Teman-teman yang saya cintai, khususnya bagi para orang tua maupun guru.
Salah satu keterampilan yang sangat dibutuhkan oleh anak kita adalah keterampilan komunikasi. Otak mereka secara terus menerus membangun pemahaman menurut versi mereka sendiri. Ini berarti, mereka sudah tentu mempunyi banyak hal yang dapat dikemukakannya. Apakah kita sudah memberi kesempatan atau menciptakan kesempatan bagi mereka untuk mengkomunikasikan apa yang ada dalam pikirannya?

Terhadap anak saya yang bungsu, saya sering menggunakan kesempatan untuk memintanya bercerita apa yang dia senangi. Misalnya karena alasan tertentu saya terpaksa tidak bisa ikut menonton film di bioskop. Ayahnya lalu bilang ke si kecil, “later, tell Mummy the story. Kasian kan mummy tidak ikut nonton”. Nah dalam keadaan mood, dia akan bercerita banyak. Hal yang lucu bagi saya jika dia cerita beberapa istilah asing misal budaya kerajaan, dan mungkin dia membaca keraguan di wajah saya, maka dia pun bertanya “Do you understand what I meant? Do you understand [this word]?” Dia pun dengan telaten menjelaskannya.

Begitu juga, saat ini (di mana saya di Afsel sedang anak-anak bersama Ayahnya di Surabaya). Mungkin karena dia sibuk atau asyik dengan sesuatu sehingga saya sulit menemui dia lewat skype. Saya pun berpesan untuk disampaikan  ke si kecil bahwa Mummy ingin diajari permainan yang ada di facebook. Bagaimana cara menjalankannya. Dia pun segera datang dan dengan telaten menjelaskan prosedurnya secara rinci. Saya secara antusias menunjukkan ketertarikan saya pada cerita dia. Karena saya tidak banyak hal yang dia ceritakan, maka saya dengan mudah bertanya dan dia pun dengan mudah menjelaskannya. Akibatnya komunikasi terjadi secara alami. Artinya saya sebagai orang tua berhasil memancing atau memprovokasi pikirannya.

Ini salah satu teknik membelajarkan anak. Belajar tidak selalu harus duduk manis membaca buku. Peran kita adalah bagaimana mengajak dia berfikir, membantu mempertajam pikirannya, dan memprovokasinya dalam hal-hal yang baik.

Hal ini juga saya lakukan pada Kakaknya.
Saya sebagai orang yang cukup sibuk, saya tidak mungkin selalu duduk di samping anak-anak saya dan meminta mereka mengerjakan satu persatu. Mereka pun sering saya beritahu, bahwa saya mempunyai tanggung jawab banyak, bukan hanya pada mereka berdua, tetapi juga pada anak-anak lainnya, pada mahasiswa saya, pada banyak guru-guru di Indonesia. Oleh karena itu, hal yang sering muncul di pikiran saya adalah bagaimana mendidik dia untuk mandiri, belajar sendiri, dan terlatih mengambil keputusan. Kadang-kadang kami orang tua sibuk belajar, demikian juga anak-anak kami. Mereka hanya datang bertanya saat kesulitan dan tentu kami melayaninya dengan sepenuh hati. Hal ini juga perlu dilakukan oleh orang tua yang tidak mempunyai banyak kesibukan di luar karena niat kita adalah melatih mereka mandiri.

Hal lain yang kami biasakan sejak kecil adalah kami minta mereka menulis hal apa yang mereka perlu kerjakan mulai pagi hingga malam hari. Rutinitas apa yang perlu mereka lakukan sebelum ke sekolah, sepulang dari sekolah, sebelum tidur dan seterusnya. Ini sudah kami latihkan sejak usia dini (saat itu usia sekitar 5 tahun). Mereka harus mengecek atau memonitor daftar kerjaan yang meraka tetapkan sendiri. Nah saya dan Ayahnya tinggal memberi pujian, bintang, poin, dst. Jika mereka berbuat hal yang mengecewakan, mereka pun perlu membuat daftar contoh-contoh perilaku yang baik dan yang tidak baik. Kami melatihkan mereka berefleksi terhadap apa yang dilakukannya. Berbagai cara pun kita gunakan karena kadang-kadang Cara 1 mungkin berhasil saat ini, bulan depan perlu Cara 2. Yah, kita terus bereksperimen dan mencermati hasil eksperimen kita.

Salah satu eksperimen yang kami orang tua lakukan beberapa bulan lalu adalah meminta anak merangkum hasil bacaanya. Saya tahu bahwa Fika sangat mendambakan buku Harry Potter, tetapi kami belum membelikannya karena mahal banget (sekitar dua ratus ribu rupiah). Maklum Ibu dan Ayahnya tidak terbiasa beli buku. Lalu kami setuju membelikan buku tersebut sebagai hadiah rangking 1. Buku ini sangat tebal bagi saya yaitu 999 halaman. Namun ayahnya bilang bahwa dia telah selesai membacanya hanya dalam waktu kurang dari 10 hari. Saya pun menggunakan momen ini untuk melatih komunikasi tertulis anak saya.

Saya bilang ke suami untuk mencari cara supaya Fika mau mengirim ringkasan cerita pada Ibunya di Afsel dengan catatan Fika tidak merasa terbebani. Apalagi saya sendiri, hingga S1, saya tidak pernah membuat rangkuman dari suatu buku cerita. Maklum waktu kecil juga tidak pernah punya buku cerita.

Walhasil, keesokan harinya, saya dikontak oleh ayahnya bahwa dia berhasil meminta Fika menulis apa yang saya maksud karena dia menjanjikannya untuk membelikan lagi buku cerita yang lain.

Kata suami tercinta, Fika pun dengan serius mengetik summary itu dalam bahasa Inggris, sedangkan buku Harry Potter yang dibacanya adalah buku bahasa Indonesia. Dia menulis tanpa melihat buku Harry Potter. Dia cuma bertanya ke ayahnya apa bahasa inggris dari rusa. Dia lupa katanya. Ini mengindikasikan bahwa dia ngerti jalan ceritanya.

Membaca rangkuman yang dia berikan, saya pun semakin percaya, bahwa otak anak menyimpan banyak pengetahuan yang orang tua sendiri juga belum tentu tahu. Artinya,mari kita belajarkan anak-anak kita dengan cara-cara yang mereka senangi. Bisa jadi, dalam hal tertentu kita sendiri tidak paham, tetapi kita punya teknik untuk membawa anak-anak kita memahami sesuatu yang bermanfaat dan menarik.

Hal yang juga membantu dalam membelajarkan anak saya adalah memanfaatkan internet. Wah ini ceritanya panjang. Sebagai orang tua, saya tidak perlu khawatir untuk menjadi fasilitator bagi anak saya karena adanya akses Internet. Akibatnya, dia pun banyak tahu hal-hal yang sama sekali saya tidak ketahui. Cerita rincinya akan saya tuliskan di kesempatan lain. Semoga catatan ini bermanfaat. Rangkuman Fika saya sajikan di posting lainnya

Wednesday, November 7, 2007

Dialog bermakna bersama anakku tersayang

Kejadian: sekitar 20 menit sebelum berangkat ke sekolah tanggal 7 Nopember 2007 jam 8.00 pagi waktu Brisbane


Kejadian berikut singkat, tapi maknanya sangat mendalam. Ini hanya sebuah contoh kecil di mana kita sebagai orang tua bisa selalu belajar dari anak dan kita pun selalu berkesempatan untuk membelajarkan anak kita. Membelajarkan mereka tidak harus selalu berarti bahwa dia harus duduk rapi, selalu dengan buku dan pulpen, selalu harus dengan kopia, dan sebagainya. Belajar tidak selalu berarti di sekolah atau di tempat mengaji.

Belajar tidak harus selalu berarti anak belajar dari guru atau anak belajar dari orang tua, tetapi sebaliknya, orang tua pun perlu belajar dari anak dan guru perlu belajar dari siswanya.

Episode berikut adalah hanya sebuah contoh kecil, dan saya benar-benar belajar dari anak saya Fika (usia 8 tahun) dan Fida (usia 5 tahun). Kejadian ini memberi tantangan pada saya, bagaimana saya sebagai orang tua dari anak, sebagai teacher educator, sebagai dosen, menjadi fasilitator yang baik bagi para pebelajar secara umum.

Jawabannya adalah: saya perlu terus belajar!

Berikat kisah nyata dan hikmahnya.



Bagian 1:

Berawal ketika saya membuka sebuah file power point (dibuat oleh Fida) pagi ini, Fika dan Fida mendekati saya di depan komputer. Fika mulai bercerita bahwa jika ingin membawa filenya dari sekolah, dia butuhkan 'flash disk'.

Uhm, tentu ini menjadi starting point bagi saya untuk mengajukan pertanyaan.


"Apa saja yang dilakukan dengan komputer di kelas Fika? Fika menjawab 'not much'. Dia pun menjelaskan bahwa siswa diberi kesempatan ke komputer tiap pagi, sebelum bel sekolah bunyi. Tetapi hanya dua anak, karena dari 4 komputer yang tersedia, hanya dua komputer yang bisa dipakai untuk permainan tertentu. Saya mengerti maksudnya, mungkin karena tidak tersedia program yang lengkap di dua komputer tersebut, maka tidak semua online games bisa jalan.


Saya melanjutkan investigasi saya untuk mencari tahu seberapa banyak komputer yang bisa dimanfaatkan di kelas Fika. Jika pada Cawu 1, 2, 3 saya sudah berkesimpulan bahwa komputer tersebut jarang dimanfaatkan, maka saya curiga, siapa tahu di Cawu 4 inilah mereka pakai banyak komputer. Fika kan tiap cawu membayar uang komputer!!!

Fika pun menjelaskan, bahwa tampaknya gurunya kurang senang mengajar dengan memanfaatkan komputer.


Bukankah ini sebuah tantangan pagi para peneliti: Apa pentingnya menyiapkan barang mahal tersebut di kelas jika tidak digunakan atau tidak perlu digunkan?


Fika menjelaskan, gurunya tampak kurang senang mengajar dengan komputer. Dia senang mengajari mathematics, hand writing dan dalam Cawu ini akan diajar tentang Fantasy writing.

Saya pun menggunakan kesempatan ini untuk melacak apa saja sih yang anak ketahui tentang pelajaran di sekolahnya.


Dengan antusias, Fika menjelaskan makna 'Fantasy writing' dengan sangat dalam, yang intinya bahwa dia perlu menulis cerita fantasy. Fika pun menghubungkan dengan cerita fantasy yang telah dibacanya atau ditontonnya di TV. e.g The Witches. Banyak judul yang disebutnya, tapi saya tentu tidak ingat, maklumlah masa kecil jarang membaca karena tidak tersedianya buku. Seingat saya, waktu kecil hingga SMA, tidak punya TV. Juga saya pun tidak pernah menikmati perpustakaan. Wajarlah kalau Ibunya Fika tidak banyak tahu he he he. Kok bisa jadi PhD student ya? Wah ini namanya 'rahmat' kali ya.


Lanjut cerita, saya pun bertanya: "How do you do the Fantasy writing?" Maksud saya, gimana caranya nulis cerita fantasy. Fika pun menjawab, "Well, I do not know, my teacher has't taught us yet". Oh begitu ya, belum diajar toh sama gurunya. Tapi saya tidak berhenti sampai di situ. Saya nanya lagi (dasar Ibunya suka nanya kan?). "Menurut pikiran Fika bagaimana kira-kira ngerjakan Fantasy writing, your own ideas."

Fika pun menjelaskan dengan sangat lancar dengan bahasa sehari-harinya, yaitu in English(sedang Adiknya mendengar dengan penuh perhatian). Dia menjelaskan beberapa point secara berurutan yang artinya dalam bahasa Indonesia sbb.

  • Tentukan dulu temanya, cerita apa yang mau dituliskan, atau tentang apa.
  • Tentukan berapa pelaku dalam cerita itu.
  • Peran apa yang akan dijalankan oleh masing-masing
  • Di mana kejadiannya?
  • Kapan terjadinya?
Saya lumayan tercengang dengan penjelasannya. Soalnya, sepertinya hal seperti ini tidak saya pelajari saat saya SD, SMP, bahkan SMA. Saya baru belajar nulis saat di Universitas.

Sebelum melanjutkan cerita yang lebih menarik lagi setelah episode ini, saya ingin menulis: pelajaran apa sih yang bisa kita petik dari sini.
  1. Proses belajar pada anak terjadi di setiap saat. Saat bermain dengan temannya, saat menonton TV, mendengar guru, membaca buku, menjelaskan sesuatu pada adik dan Ibu Bapaknya, saat bertanya, saat bermain dengan komputer atau Internet, dll. Kerja otak selalu menghubungkan apa yang telah anak ketahui. Tugas orang dewasa (misal: guru atau orang tua) adalah perlu mendorong terjadinya proses belajar tersebut. Sesekali, manfaatkan saat mood anak untuk melacak apa yang telah diketahuinya. Bukankah ini membangun keterampilan komunikasi anak dan bukankah keterampilan ini dibutuhkan anak di masa-masa hidupnya.

  2. Informasi yang diperoleh anak dapat dari berbagai sumber. Guru bukanlah sumber informasi satu-satunya (seperti yang saya pikirkan saat masa sekolah dulu). Dalam kasus cerita di atas, ada banyak hal yang saya tidak ketahui tapi diketahui oleh Fika. Sama saja di kelas, ada banyak hal yang diketahui oleh anak dan belum/tidak diketahui oleh guru. Suatu hal yang sangat penting, urgen, dan mendesak bagi para guru untuk menyadari bahwa perannya bukan untuk 'mengajari atau memberi tahu' melainkan lebih pada 'membelajarkan' anak-anak kita. Peran guru adalah membawa anak terlibat dalam suatu proses pembelajaran, proses berfikir, dan proses perubahan ke hal yang lebih positif! Artinya guru harus selalu menanyai dirinya, bahwa apakah setiap anak belajar? Guru harus mengecek apakah mereka betul-betul belajar. Cara mengetahuinya bagaimana??????? Banyak caranya? Tidak ada satu rumus yang berlaku untuk setiap anak karena setiap anak 'unik'. Untuk itulah, guru perlu terus belajar untuk mengetahui hal-hal ini. Contoh yang saya lakukan adalah: bertanya dan mendengarkan serta mencermati penjelasan Fika. Pada saat yang sama, si Adik pun tentu belajar karena ikut mendengar cerita tersebut. Analognya, ketika guru menciptakan suasana komunikasi yang enak antar siswa, maka anak bisa belajar dari teman-temannya. Dan di sinilah inti dari teori belajar yang dikemukakan oleh Vygotsky.

Bagian 2:

Apa yang terjadi selanjutnya?

Fika menjelaskan penggunaan kidspiration untuk membantu menulis, yaitu penggunaan mindmapping. Wah, dia menjelaskan dengan sangat jelas sehingga saya mengerti apa yang dimaksudkan. Tentulah saya bertanya: dimana Fika mempelajarinya dan siapa yang mengajarinya. Dia mengatakan bahwa dia pelajari di 'smart room'. Semula saya mengira bahwa setting kelasnya berubah. Saya mengira dalam kelas ditetapkan area-area tertentu, dimana ada ruang baca, ruang tulis, ruang investigasi, ruang yang diklaim ruangan yang cerdas yang dilengkapi oleh teknologi komputer. Setting ruangan seperti ini telah saya lihat di kelas Fika (Year 1) dua tahun lalu.

Ternyata saya salah duga.


Ruang yang dimaksud adalah: lab komputer di mana ada banyak komputer, ada tiga meja besar dan ada data proyektor yang sudah permanen.

Fika menjelaskan bahwa telah dua kali mereka dibawa ke ruangan tersebut.


Setelah itu dia mengalihkan pembicaraanya ke yang lain yaitu tentang Photo story. Dia cerita bahwa Bapak wakil kepala sekolah Mr X sangat hebat dalam hal ICT. Beliaulah yang menginstall program Photo story dikomputer di kelasnya. Fika cerita bahwa Fika adalah satu-satunya siswa di kelasnya yang bisa membuat animasi pada photo story tersebut. Ini sangat wajar, karena Fika pernah mengerjakan hal ini di rumah. Ini pun menjadi bukti bahwa kemampuan yang dibawa siswa kita ke kelas sangat beragam, ditentukan oleh perolehan pengetahuan dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.

Fida pun mulai angkat bicara setelah nama Mr X di sebutkan. Dia bilang bahwa dia kenal baik dengan Mr X, punya baju putih, celana panjang biru dan berdasi panjang. Inilah hasil pengamatan Fida. Karena ketidakpuasan Fida yg tidak mendapat giliran cukup untuk bicara karena sang Kakak sangat serius mau menjelaskan sesuatu, Fida menunjukkan kekecewaannya dan meninggalkan tempat. Beberapa detik kemudian, saya mendengar dia membaca buku dengan suara keras, membaca gambar dan mendeskripsikannya dengan kata-kata sendiri.


Setelah Fika bercerita agak panjang tentang smart room (dalam hal ini saya dapat ide baru dari Fika), saya berfikir mengalihkan pembicaraan ke komputer di hadapan saya.


Mengingat tadi malam sebelum Fika tidur, dia ingin sekali mengetahui cara membuat link 'website mainan' ke blognya, sedangkan saya tidak sempat karena melayani permintaan adiknya untuk belajar membaca, maka pagi ini saya gunakan kesempatan untuk melakukan hal ini.


Fika pun mengetik websitenya http://fika-adventure.blogspot.com/, saya agak tercengang karena ini adalah blog yang baru saya lihat dan dia sign in dengan alamat emailnya dan password yang saya tidak ketahui. Dia bertanya, apakah saya tahu mengubah setting blog, merubah warna, atau hurufnya.

Saya bilang, saya tidak tahu. Dia pun menyela, ah saya kira Ibu sudah tahu. Lalu dia memperlihatkan caranya. Ini adalah cara saya memposisikan Fika sebagai ahli pada hal-hal tertentu.


Singkat cerita, setelah kami berdua mencari cara membuat link, akhirnya saya tinggalkan Fika untuk eksplorasi sendiri. Saya katakan saya juga belum tahu cara mudah membuat link dengan Blog Beta ini.

Saya harus melayani Adiknya yang sudah semakin cemburu dan merengek untuk diminta diajari membaca.

Alhasil, Fida jadi senang karena saya bantu bacakan bukunya dan sesekali memperkenalkan kata-kata tertentu, sedang Fika berhasil menempatkan link pada blognya "Fika's Game" dengan caranya sendiri.

Setelah saya memperhatikan blog Fika, saya menemukan hal baru lagi karena game http://www.marapets.com/ ini belum pernah saya lihat dan tidak pernah saya beritahukan Fika.

Ketika saya bertanya tahu dari mana website ini. Dengan singkat dia jawab "I found it by my self" dan kemudian Fika pun pergi sikat gigi dan berangkat sekolah.


Lalu pelajaran apa yang dapat kita petik dari dialog bagian kedua ini?

  1. Ini sebuah bukti bahwa betapa teknologi adalah dunia anak. ICT mungkin merupakan barang yang tidak terlalu kompleks. Jika kita yang dulunya banyak berinteraksi dengan pulpen, kertas, maka ini menjadi barang biasa bagi kita. Demikian juga anak kita yang sering berinteraksi dengan komputer atau program-program digital. Otak mereka secara cepat bisa beradaptasi. Fika sangat berbeda dengan Ibunya. Pelajaran yang menggunakan komputer adalah hal yang mengerikan saat saya di S1 dulu. Saya baru mulai belajar mengetik dengan program CW (Chi Writer ya?) saat saya ngambil S2 di IKIP Surabaya. Komputer bukanlah barang yang bersahabat bagi saya, sedang bagi Fika dan Fida yang usia masing-masing 8 dan 5 tahun, komputer hanya seperti pulpen, pensil atau mainan. Apa konsekswensi dari ini semua? Bagi guru, ini suatu hal yang serius. Pengajaran sebaiknya mempertimbangkan konteks kehidupan anak. Pembelajaran di sekolah bukanlah sesuatu yang terisolasi. Jika guru mengharapkan siswa terlibat aktif dalam membangun pemahamanya, atau aktif belajar, maka guru harus mengkaitkan pengajaran itu dengan apa yang dipahami siswa atau menghubungkan dengan konteks kehidupan siswa. Contoh konkrit, Jika siswa tahu dan bersahabat dengan blog, mengapa guru tidak memanfaatkan situasi ini untuk mendorong siswa terus membangun keterampilan menulisnya, keterampilan berkomunikasi, dan berkreativitas. Oleh karena itulah, kajian tentang blog untuk belajar menjadi urgen. Is the blog as a learning tool? Jika mau tahu peran blog dalam pembelajaran, klik di sini.

  2. Melayani dua anak bagi saya kadang-kadang tidak mudah. Melayani anak-anak satu persatu di kelas (yang jumlahnya sekitar 20 bahkan kadang-kadang lebih 40 anak) adalah hal yang sangat sulit dilakukan jika tidak tahu triknya. Sebagai akibat, fenomena yang umum terjadi adalah guru mengajar dengan ceramah, dimana semua anak diminta duduk rapi untuk mendengarkan ceramah guru. TIDAK PEDULI BAHWA SEMUA ANAK BERBEDA KEBUTUHAN DAN GAYA BELAJARNYA. tIDAK PEDULI BAHWA MEREKA BOSAN, MEREKA SUDAH TAHU, ATAU TIDAK PEDULI BAHWA MEREKA SEBENARNYA SULIT MEMAHAMINYA. Akibat lainnya, karena dasar anak yang biasanya punya keinginantahuan, mau bertanya, tidak betah dengan hal yang tidak sesuai dengan dirinya, maka kadang-kadang mereka gelisah, berbisik, bercerita atau melakukan hal yang sudah tidak relevan dengan kegiatan belajar. Banyak guru yang menyikapi hal ini dengan 'marah' . Bukankah ini tidak adil? Tidak Bijaksana? Menantang kodrat manusia kan? Oleh karena itu, guru saatnya harus berfikir untuk menciptakan suasana dimana bukanlah dia satu-satunya yang bisa melayani keinginantahuan anak.

  3. Poin ke-2 diatas mengingatkan kunjungan saya di suatu kelas unggulan di Kabupaten Barru. Salah satu pertanyaan yang saya ajukan pada siswa adalah, "saya adalah dosen yang turut bertanggung jawab dalam memproduksi guru. Berilah saran pada saya tentang guru yang baik menurut kalian. Saran itu penting bagi saya dalam membantu mengarahkan para calon guru. Selang beberapa menit, tidak seorang pun siswa yang mau mengajukan pendapat. Setelah memahami bahwa mereka tidak akan berani maju satu persatu ke depan kelas sedangkan guru dan kepala sekolah bersama saya atau mereka mungkin malu-malu, maka saya dengan segera meminta mereka mendiskusikan dalam kelompoknya. Merekapun berbisik-bisik atau berdiskusi dengan teman-temannya. Beberapa menit kemudian saya mendatangi kelompok-kelopmok tsb. Mereka dengan semangatnya menyampaikan ciri-ciri guru yang baik, antara lain yang memberi kesempatan pada siswanya untuk menjelaskan kepada siswa lainnya di depan kelas, mengetahui apa yang disenangi siswanya, tidak marah-marah ketika siswanya sudah stres mengerjakan soal matematika, menyiapkan waktu diskusi bagi anak, dan lain-lain. Lebih dari 30 ide dari siswa tentang guru yang baik.
  4. Fida, si adik masih mampu memperlihatkan protesnya secara nyata pada saya ketika saya melayani Sang Kakak. Hal ini karena saya punya kedekatan dengan dia. Bagaimana mungkin reaksi semacam ini dapat ditunjukkan pada anak-anak di kelas ketika hubungan antara siswa dan guru tidak sedekat dengan hubungan saya dengan anak. Maka, bisa diduga, yang terjadi pada anak di kelas yang tidak suka atau tidak puas dengan gurunya.

  5. Kasus ini juga menunjukkan bahwa sikap mandiri Fika memudahkan saya melayani Fida. Saya percaya bahwa dia bisa melakukan sesuatu yang lebih kompleks. Bagi para guru, sikap mandiri seperti inilah yang harus kita bangun pada diri anak. Hal ini tidak akan mungkin terjadi jika cara pengajaran guru yang hanya berdiri di depan kelas, yang hanya ceramah, dan meminta siswa mengerjakan soal-soal yang sama atau serupa yang diajarkan oleh siswanya. Fenomena ini banyak sekali saya temukan di sekolah-sekolah Indonesia.

Demikianlah cerita nyata yang saya angkat untuk kita (khususnya bagi orang tua dan guru) untuk dicermati. Sebelum selesai, saya menegaskan bahwa anak-anak kita potensial. Jangan kita hancurkan potensi mereka. Jangan kita kubur kehebatan berfikir mereka dan marilah kita maknai apa yang dimaksud dengan 'MEMANUSIAKAN MANUSIA' dan mari kita maknai apa maksud dari Sang Maha Pencipta bahwa setiap manusia adalah unik.

Semoga bermanfaat

http://fidacreative.blogspot.com/

http://portfolio-fida.blogspot.com/

Tuesday, March 20, 2007

Refleksi mengapa anakku tidak mau ke sekolah hari ini

Karena ada sedikit masalah, saya yang rencananya segera fokus pada analisis data saya jadi tertunda dulu.
Mengapa?
Kejadiannya terjadi begitu tiba-tiba. Tapi biarkan saya mencermatinya karena ini mungkin pelajaran buat saya.
Masalahnya: Fida (anak kedua saya yg sekolah di Prep) yang telah begitu siap untuk ke sekolah, tiba-tiba tidak mau ke sekolah tanpa diantar Ayahnya, lalu tiba-tiba memutuskan ingin tinggal di rumah. Mengapa demikian?


  • Mungkinkah ini semua karena ketidakahlian saya dalam menangani anak?
  • Mungkinkah ini terjadi karena rasa egoisme yang saya miliki dimana saya terlalu memikirkan berharganya waktu untuk study saya?
  • Mungkinkah karena agak lelah, telat tidur semalam, tidur 4 jam tapi kaya'nya sambil mikir, bangun pagi trus review tulisan dan masak buat makanan keluarga, trus mikirin target mau lanjutin analisis data dan nulis? serta kerjaan lainnya. Kok hidup jadi begitu hectic ya, padahal dulu saya pikir kerjaan sy bakal lebih banyak jadi Ibu rumah tangga atau jadi guru di kampung.
Hipotesis saya adalah bahwa reaksi anak dapat dipicu oleh orang tuanya.
Mari kita lihat:


  • Fika bangun pagi dan menemukan saya belajar di tempat tidur, saya pun segera menghentikan aktivitas saya dan memeluknya, menciumnya. Intinya saya gemas banget sama dia. Maklumlah usianya 5 tahun dan dia sedang dalam perkembangan. Lucu banget apalagi ketika dia berupaya mengungkapkan idenya.

Saya jadi teringat gayanya semalam dia mendatangi saya membawa kertas banyak, katanya dari Home Folder dia. Ini kejadian menarik loh!!! karena homefolder yg seharusnya dicek oleh orang tua setiap hari, beberapa hari ini saya lupa, jadi barangkali itu gabungan informasi. lalu dia katankan "sharing time", dia mau presentasi di hadapan saya, meniru gaya kakaknya. Karena pada saat yg sama Kakaknya yg ingin nulis di Blognya "all about Fika" mendapat kesulitan dengan password gara-gara ada versi baru si Blogger, sy jadi bantuin si Kakak. Dengan sabar sang Adik Fida mengingatkan saya sambil bilang "timing please" and "I am waiting". Setelah itu akhirnya kami pun masuk ke kamar saya dan memperhatikan Fida sharing. Sunggu menarik

  • Kembali ke kasus Fida tadi pagi, Fida akhirnya pun siap ke sekolah. Dia pakai baju sendiri, sarapan sendiri. Ayah pun yg tampak masih capek ikut berperan mengikat rambut si Fida. Pada dasarnya kedua anak saya Fika dan Fida lumayan independen dalam mempersiapkan segalanya untuk sekolah. Kami hanya jadi reminder/supervisor untuk mengecek segala sesuatunya.
  • Fida dan Fika pun dengan ceria keluar rumah dan bermain sambil menunggu teman saya Pak Dars karena kami sudah sepakat "car pooling". Sedangkan saya masih sibuk mempersiapkan segala sesuatu yg akan saya bawa.
  • Berhubung karena tas saya lumayan berat, bawa laptop dan buku-buku serta sekotak bubur kacang ijo, saya memutuskan minta tolong suami untuk ngantar saya ke kampus. Saya agak merasa lemas untuk bawa bawaan yg berat tsb. Respon suami OK dan bahkan memberi usulan untuk kami mengantar sekalian Fika dan Fida ke sekolah. Sang Adik Fida mungkin jadi gembira sekali karena akan di antar oleh Ayahnya yg selama ini nyaris tak pernah mengantarnya (karena perjanjian 'car pooling' dg teman-teman tetangga). Suami hanya bertugas jemput anak-anak tiap sore.
  • Saat kami telah siap berangkat, tiba-tiba Pak Dars datang. Saya bertanya apakah Pak dars akan ke kampus? jawabnya Iya. Dengan demikian saya mengubah keputusan untuk ikut saja di mobil Pak Dars bersama Adik Fida.
  • Mulailah muncul masalah. Si Fida menolak dan ingin diantar oleh Ayahnya.
  • Saya sedikit memaksakan ke Fida agar kami ikut Pak Dars sehingga suami saya bisa istirahat. Maklum semalaman tidak tidur karena dinas malam. Bukankah ini suatu yg tidak konsisten. Tadi saya mikirkan supaya suami bisa nolong ngantar saya, sekarang saya mikirkan supaya suami bisa istirahat.
  • Singkat cerita, Fida yg sudah naik di mobil menangis dan memberontak. Saya cuma mikir bahwa saya bakal repot di sekolah kalau Fida jadi tetap nangis. saya pun berkomentar, kalau begitu Fida tidak usah sekolah. Eh, dia malah setuju. Ya sudah akhirnya dia turun dari mobil dan saya serahkan Fida ke Ayahnya dengan harapan Ayahnya bisa nyelesaikan masalah Fida.
  • Apa yg terjadi kemudian. Karena proses refleksi cepat terjadi pada diri saya, saya jadi sadar bahwa sebenarnya hal ini terjadi karena kelalaian orang tua khususnya saya. Saya pun memutuskan untuk menelpon suami. Ternyata suami telah memutuskan supaya biarin saja Fida tinggal di rumah. Dia dibiarkan sendiri, TV dimatikan dan Ayahnya pun pergi tidur.
  • Saya pun meminta Ayahnya untuk mengupayakan agar dia bisa sekolah dan berangkat dengan hati yg plong, bahagia. Saya terlalu percaya bahwa jika si anak berangkat ke sekolah tanpa membawa masalah ke sekolah, kemungkinan dia bisa belajar dengan lebih baik dan dia bisa lebih percaya diri. Tapi keputusan suami, biarkan dia seperti itu agar dia belajar. Barangkali maksud suami agar dia tahu rasa bagaimana tidak enaknya tidak ke sekolah. Apalgi suami saya sudah ngantuk sekali.
  • Bujukan saya pada Ayahnya tidak mempan. Saya katakan bahwa berjuanglah agar anaknya bisa berhasil sekolah dg baik dan setelah ngantar anak, Ayahnya bisa tidur bahkan hingga sore hari. Tapi Ayahnya sudah tegas memutuskan dan beliaunya benar2 ngantuk. "Ya sudahlah" begitu pikir saya.

Pertanyaan saya, apa sih yg dapat saya pelajari dari satu kasus ini?

  1. Saya seharusnya lebih banyak belajar untuk bersifat konsisten. Saya perlu belajar mengambil keputusan secara tepat dan cepat. Sikap Fida yg tidak kami sepakati adalah sesungguhnya dipicu oleh sikap orang tuanya yang mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan sedikitpun efek terhadap anaknya. Akan mungkin lebih bijaksana jika keputusan seperti ini diambil tanpa harus diperdengarkan. Negosiasi antar suami dapat dengan cara bisikan. Cara ini toh lebih mesra menurut akal sehat dan perasaan sehat saya.
  2. Menurut pengamatan saya, anak-anak kita sering jadi korban orang dewasa khususnya orang tua. Bayangkan, kita saja orang dewasa kadang tidak mood dalam mengerjakan sesuatu, begitu pula tentunya dengan anak. Nah saat kita melihat anak kita tidak mengerjakan sesuatu yg dia tidak inginkan, banyak orang tua yg menanggapinya dengan marah. Kadang-kadang ini pun terjadi pada saya.
  3. Sebenarnya, Fida pasti mempunyai alasan yg banyak. Di pikiran mereka, banyak hal yang tidak sempat atau tidak dapat dikomunikasikan. Buktinya dia bisa memberikan banyak argumen secara panjang lebar ketika dia diberi kesempatan banyak untuk berbicara dalam suasana yg menyenangkan dan penuh keakraban

Demikian refleksi saya. Ya Allah, semoga saya dapat belajar banyak dari titipanMu ya Allah. Engkau mengamanahkan dua permata Fika dan Fida untuk saya bimbing, jaga, didik, agar kelak dia bisa menjadi manusia yg bermanfaat. Semoga anak-anakku dapat belajar hal yang baik dari Ibunya, sebagaimana saya telah menemukan pelajaran penting dari Ibu saya seperti yg saya tuliskan di "cerita kehidupan".

Mereka tidak tahu warna masa depannya. Mereka belum mengerti tantangan berat dari kehidupan masa depan mereka. Mereka pun belum mengerti arti dari tanggung jawab kehidupan. Kami orang tua nya yang diamanhi untuk mempersiapkan hidup masa depan mereka.

Hanya kekuatan, kemampuan, ridho dari-Mu lah untuk kami bisa mendidiknya secara baik.

Maafkan Hamba-Mu ya Allah. Fida, maafkan saya atas kekurangan yg saya miliki. Bukankah saya telah menyadarinya sejak dulu bahwa saya belajar menjadi Ibu yang baik seperti yang telah saya tuliskan di sini.

Tuesday, February 6, 2007

Saya sedikit terkejut tadi pagi. Mengapa?

Tiba-tiba Fika (Kelas 3 di Primary school) tidak mau ke sekolah. Ayahnya terus menanyainya dalam bahasa Indonesia dan dia terus menjawabnya dalam bahasa Inggris. Karena penjelasan si Fika terlalu panjang dan kurang jelas, Ayahnya tampak sulit memahami apa sih maunya si Anak ini. Saya pun terpaksa menghentikan kesibukan saya di dapur (mempersiapkan sarapan dan bekal buat sekolah Fika Fida) dan meminta Fika duduk dan menjelaskan apa maunya pagi itu. Saya bilang sama dia: 'I am quite dissapointed this morning. Can you you sit down here?' Saya sedikit agak kecewa karena Fika tidak segera bangun dan bergegas menyiapkan segala keperluan untuk sekolah hari ini. Namun, saya sadar bahwa saya perlu tahu apa keinginan dia dan pemikiran dia.
Saya pun menanyainya: 'What's wrong with you Fika?'
Trus dijawab: 'I don't want to go to school!' Saya jadi penasaran untuk tahu alasannya. Segera saya ambil secarik kertas dan pulpen untuk menulis alasannya. dan saya bertanya: 'What' s you reason?' Trus dia mulai menjelaskan:
'it's boring Mum' saya jelas menanyainya 'Why?'
Trus dijelaskannya satu persatu alasannya antara lain: 'there are no lots of fun staff at school'. Saya nanya lagi. 'What do you mean fun staff?'. Trus dikatakan 'like arts, activities' Saya tanya lagi 'what do you mean with activities?". Dijelaskan lagi 'like learning about pattern, using blocks, counters'. Dia nambahkan 'we only learnt about mathematics'. 'What maths?' tanya saya lagi. 'some easy staff like 9 take away 3, 9 take away 5'. saya tanya lagi: 'what about spelling?'. Dijawabnya: 'Yeah I learnt spelling but it's too easy'. Trus saya tanya. 'Do you have a homework?'. Trus dia bergegas ngambil homeworknya tentang spelling. Disana ada daftar 3 kata untuk setiap hari harus bisa dieja dan harus ditanda tangani oleh orang tua. Trus saya tes deh dengan mengajukan pertanyaan: How do you spell ........ Semua kata 5 hari x 3 kata = 15 kata dapat di eja dengan sangat lancar. Pikir saya, benar juga bahwa emang semua ini gampang. Malah dalam proses tes ini, dia balik nanya ke saya 'what do you mean Mum?' Maklumlah dia kali tidak jelas apa yg saya maksud 'glasses atau classes' Soal ini mah lidahku sudah tidak bisa dibentuk untuk good pronounciation.

Sambil nanya saya juga mikir. Duh saya bingung juga. Saya dapat ide: saya katakan, kamu bilang matematikanya mudah tapi kok mau pakai counters (semacam koin yg berwarna-warni). Trus dia bilang 'to stack on' atau untuk disusun-susun.
Wah, saya pikir anakku ini terus ingin belajar sambil main-main.
Trus saya cuma bisa jelaskan bahwa dalam belajar kita tidak harus selalu pakai mainan. Di kelas 1 dan 2 memang Siswa banyak main sambil belajar.
Saya berikan contoh, 'You see Mum, Mum enjoys learning without using blocks'. Ini sih argumen jelek karena masa iya saya mau bandingkan Fika (baru masuk Kelas 3) dengan ibunya yg sedang study PhD. Lagian dalam study PhD saya tidak enjoy terus-terusan malah banyak stressnya saking susahnya. Trus saya memberi argumen tambahan lagi 'you are lucky. You know Fika, when Mum was at school, primary school, no games at all in the classroom, just sitting down and listen to the teacher.' wah ini mah argumen klasik seperti ibu saya selalu mengatakan misalnya: 'saya dulu pernah mau makan tapi tidak punya nasi, sekarang kamu ada nasi' Itu argumen ibu untuk melarang kita-kita protes jika tidak punya lauk pauk.
Entahlah apa yg dipikiran Fika ketika saya coba memberi argumen di atas. Anak-anak saya kan selalu juga punya argumen terhadap apa yang kita katakan.
Akhirnya saya bernegosiasi agar dia pergi sekolah dan saya janji untuk bertemu gurunya dan membicarakan masalah ini. Saya juga tidak boleh hanya memandang sepihak sih. Saya juga perlu tahu siapa guru dia dan apa program mengajarnya.
Mari kita coba mengambil hikmah atas kejadian ini
Dalam hati saya, ada sih pertentangan atau ketidakpuasan atas jawaban saya. Tapi maksud saya:
  • dia perlu belajar bersyukur.
  • Belajar tidak selalu berarti bermain. Ke sekolah tidak selalu untuk bermain. Pikir saya, dia juga perlu tahu bahwa banyak variasi kehidupan di mana pada saat-saat tertentu kita menghadapi masa sulit.
  • Cara belajar itu juga banyak caranya.
  • saya sih paham kalau pasti dia tidak senang belajar hitung-hitungan yg mudah apalagi dirumah selalu minta pertanyaan matematika yang sudah jauh lebih kompleks. Dalam beberapa kesempatan saya melatihkan thinking mathematically.

Kasus Fika diatas patut kita cermati secara baik. Artinya apa, bahwa terlalu besar kemungkinan karena peran guru dapat mengakibatkan hal yang sangat kontras:

  • Misalnya: dari anak yang sangat termotivasi sekolah menjadi anak benci dengan sekolah.
  • Sebaliknya anak yg tidak semangat sekolah, menjadi membayangkan terus ingin hadir di kelas dan melakukan aktivitas belajar di sekolahnya.
  • Tentunya, kita juga harus melihat bahwa dibutuhkan komunikasi yg baik antar berbagai pihak, pihak orang tua anak, pihak orang tua dan guru, serta guru dan siswa.

Apa sebenarnya kriteria kualitas pengajaran yg baik?

Menurutku, kualitas itu sangat ditentukan oleh seberapa jauh para siswa memperoleh pengetahuan baru atau pemahaman yang baru. Ditentukan oleh sejauh mana anak memahami sesuatu.

Jadi jika kita ingin tahu kualitas pengajaran kita, maka upayakanlah tahu apa yang dipelajari dan sudah diketahui oleh siswa kita. Apa yang baru dipelajari hari demi hari. Dan inilah esensi dasar dari asesmen kelas (classroom assessment).

Kembali ke masalah Fika. Mari kita lihat bahwa dia bersekolah di sekolah yang sangat kaya di Brisbane, Australia. Mereka tidak kekurangan dengan kertas berwarna-warni, dengan segala macam alat tulis, alat mewarnai, dan di dalam kelasnya ada 4 komputer dengan kecepatan koneksi Internetnya yang sangat cepat, tersedia banyak buku bacaan, buku pelajaran di kelas maupun di library dengan ruangan yang ber AC. Kalau masalah fasilitas belajar. Sangat HEBAT!

Tapi apa yang menjadi kunci dari semua itu. Kuncinya adalah pada guru. Mampukah sang guru menarik minat siswa untuk belajar? mampukah sang guru mengukur kebutuhan-kebutuhan individu dari ke 25 siswanya. Kita bayangkanlah bagaimana seorang Ibu yang kadang kewalahan hanya dengan mengurusi satu atau dua anak di rumah. Bagaimana dengan guru yang dituntut dengan banyak hal. Pertanyaan menggelitik ini seharusnya memperkuat betapa pentingnya dan kompleksnya posisi seorang guru.

Artinya guru terlalu berhak mendapat penghargaan atau gaji yang tinggi.

Tapi guru juga harus mau terus belajar, memperbaiki kualitas pengajarannya, berkomitmen untuk mempersiapkan masa depan anak, menjadikan pengajaran sebagai ajang pengabdian hidupnya.

Demikian catatan pemikiran pagi ini yang saya tulis sebelum memulai tugas study PhD saya hari ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat.