Saturday, December 3, 2011

Pengalaman dalam melatih komunikasi Anak (Bagian 1)


Teman-teman yang saya cintai, khususnya bagi para orang tua maupun guru.
Salah satu keterampilan yang sangat dibutuhkan oleh anak kita adalah keterampilan komunikasi. Otak mereka secara terus menerus membangun pemahaman menurut versi mereka sendiri. Ini berarti, mereka sudah tentu mempunyi banyak hal yang dapat dikemukakannya. Apakah kita sudah memberi kesempatan atau menciptakan kesempatan bagi mereka untuk mengkomunikasikan apa yang ada dalam pikirannya?

Terhadap anak saya yang bungsu, saya sering menggunakan kesempatan untuk memintanya bercerita apa yang dia senangi. Misalnya karena alasan tertentu saya terpaksa tidak bisa ikut menonton film di bioskop. Ayahnya lalu bilang ke si kecil, “later, tell Mummy the story. Kasian kan mummy tidak ikut nonton”. Nah dalam keadaan mood, dia akan bercerita banyak. Hal yang lucu bagi saya jika dia cerita beberapa istilah asing misal budaya kerajaan, dan mungkin dia membaca keraguan di wajah saya, maka dia pun bertanya “Do you understand what I meant? Do you understand [this word]?” Dia pun dengan telaten menjelaskannya.

Begitu juga, saat ini (di mana saya di Afsel sedang anak-anak bersama Ayahnya di Surabaya). Mungkin karena dia sibuk atau asyik dengan sesuatu sehingga saya sulit menemui dia lewat skype. Saya pun berpesan untuk disampaikan  ke si kecil bahwa Mummy ingin diajari permainan yang ada di facebook. Bagaimana cara menjalankannya. Dia pun segera datang dan dengan telaten menjelaskan prosedurnya secara rinci. Saya secara antusias menunjukkan ketertarikan saya pada cerita dia. Karena saya tidak banyak hal yang dia ceritakan, maka saya dengan mudah bertanya dan dia pun dengan mudah menjelaskannya. Akibatnya komunikasi terjadi secara alami. Artinya saya sebagai orang tua berhasil memancing atau memprovokasi pikirannya.

Ini salah satu teknik membelajarkan anak. Belajar tidak selalu harus duduk manis membaca buku. Peran kita adalah bagaimana mengajak dia berfikir, membantu mempertajam pikirannya, dan memprovokasinya dalam hal-hal yang baik.

Hal ini juga saya lakukan pada Kakaknya.
Saya sebagai orang yang cukup sibuk, saya tidak mungkin selalu duduk di samping anak-anak saya dan meminta mereka mengerjakan satu persatu. Mereka pun sering saya beritahu, bahwa saya mempunyai tanggung jawab banyak, bukan hanya pada mereka berdua, tetapi juga pada anak-anak lainnya, pada mahasiswa saya, pada banyak guru-guru di Indonesia. Oleh karena itu, hal yang sering muncul di pikiran saya adalah bagaimana mendidik dia untuk mandiri, belajar sendiri, dan terlatih mengambil keputusan. Kadang-kadang kami orang tua sibuk belajar, demikian juga anak-anak kami. Mereka hanya datang bertanya saat kesulitan dan tentu kami melayaninya dengan sepenuh hati. Hal ini juga perlu dilakukan oleh orang tua yang tidak mempunyai banyak kesibukan di luar karena niat kita adalah melatih mereka mandiri.

Hal lain yang kami biasakan sejak kecil adalah kami minta mereka menulis hal apa yang mereka perlu kerjakan mulai pagi hingga malam hari. Rutinitas apa yang perlu mereka lakukan sebelum ke sekolah, sepulang dari sekolah, sebelum tidur dan seterusnya. Ini sudah kami latihkan sejak usia dini (saat itu usia sekitar 5 tahun). Mereka harus mengecek atau memonitor daftar kerjaan yang meraka tetapkan sendiri. Nah saya dan Ayahnya tinggal memberi pujian, bintang, poin, dst. Jika mereka berbuat hal yang mengecewakan, mereka pun perlu membuat daftar contoh-contoh perilaku yang baik dan yang tidak baik. Kami melatihkan mereka berefleksi terhadap apa yang dilakukannya. Berbagai cara pun kita gunakan karena kadang-kadang Cara 1 mungkin berhasil saat ini, bulan depan perlu Cara 2. Yah, kita terus bereksperimen dan mencermati hasil eksperimen kita.

Salah satu eksperimen yang kami orang tua lakukan beberapa bulan lalu adalah meminta anak merangkum hasil bacaanya. Saya tahu bahwa Fika sangat mendambakan buku Harry Potter, tetapi kami belum membelikannya karena mahal banget (sekitar dua ratus ribu rupiah). Maklum Ibu dan Ayahnya tidak terbiasa beli buku. Lalu kami setuju membelikan buku tersebut sebagai hadiah rangking 1. Buku ini sangat tebal bagi saya yaitu 999 halaman. Namun ayahnya bilang bahwa dia telah selesai membacanya hanya dalam waktu kurang dari 10 hari. Saya pun menggunakan momen ini untuk melatih komunikasi tertulis anak saya.

Saya bilang ke suami untuk mencari cara supaya Fika mau mengirim ringkasan cerita pada Ibunya di Afsel dengan catatan Fika tidak merasa terbebani. Apalagi saya sendiri, hingga S1, saya tidak pernah membuat rangkuman dari suatu buku cerita. Maklum waktu kecil juga tidak pernah punya buku cerita.

Walhasil, keesokan harinya, saya dikontak oleh ayahnya bahwa dia berhasil meminta Fika menulis apa yang saya maksud karena dia menjanjikannya untuk membelikan lagi buku cerita yang lain.

Kata suami tercinta, Fika pun dengan serius mengetik summary itu dalam bahasa Inggris, sedangkan buku Harry Potter yang dibacanya adalah buku bahasa Indonesia. Dia menulis tanpa melihat buku Harry Potter. Dia cuma bertanya ke ayahnya apa bahasa inggris dari rusa. Dia lupa katanya. Ini mengindikasikan bahwa dia ngerti jalan ceritanya.

Membaca rangkuman yang dia berikan, saya pun semakin percaya, bahwa otak anak menyimpan banyak pengetahuan yang orang tua sendiri juga belum tentu tahu. Artinya,mari kita belajarkan anak-anak kita dengan cara-cara yang mereka senangi. Bisa jadi, dalam hal tertentu kita sendiri tidak paham, tetapi kita punya teknik untuk membawa anak-anak kita memahami sesuatu yang bermanfaat dan menarik.

Hal yang juga membantu dalam membelajarkan anak saya adalah memanfaatkan internet. Wah ini ceritanya panjang. Sebagai orang tua, saya tidak perlu khawatir untuk menjadi fasilitator bagi anak saya karena adanya akses Internet. Akibatnya, dia pun banyak tahu hal-hal yang sama sekali saya tidak ketahui. Cerita rincinya akan saya tuliskan di kesempatan lain. Semoga catatan ini bermanfaat. Rangkuman Fika saya sajikan di posting lainnya

No comments: