Wednesday, November 7, 2007

Dialog bermakna bersama anakku tersayang

Kejadian: sekitar 20 menit sebelum berangkat ke sekolah tanggal 7 Nopember 2007 jam 8.00 pagi waktu Brisbane


Kejadian berikut singkat, tapi maknanya sangat mendalam. Ini hanya sebuah contoh kecil di mana kita sebagai orang tua bisa selalu belajar dari anak dan kita pun selalu berkesempatan untuk membelajarkan anak kita. Membelajarkan mereka tidak harus selalu berarti bahwa dia harus duduk rapi, selalu dengan buku dan pulpen, selalu harus dengan kopia, dan sebagainya. Belajar tidak selalu berarti di sekolah atau di tempat mengaji.

Belajar tidak harus selalu berarti anak belajar dari guru atau anak belajar dari orang tua, tetapi sebaliknya, orang tua pun perlu belajar dari anak dan guru perlu belajar dari siswanya.

Episode berikut adalah hanya sebuah contoh kecil, dan saya benar-benar belajar dari anak saya Fika (usia 8 tahun) dan Fida (usia 5 tahun). Kejadian ini memberi tantangan pada saya, bagaimana saya sebagai orang tua dari anak, sebagai teacher educator, sebagai dosen, menjadi fasilitator yang baik bagi para pebelajar secara umum.

Jawabannya adalah: saya perlu terus belajar!

Berikat kisah nyata dan hikmahnya.



Bagian 1:

Berawal ketika saya membuka sebuah file power point (dibuat oleh Fida) pagi ini, Fika dan Fida mendekati saya di depan komputer. Fika mulai bercerita bahwa jika ingin membawa filenya dari sekolah, dia butuhkan 'flash disk'.

Uhm, tentu ini menjadi starting point bagi saya untuk mengajukan pertanyaan.


"Apa saja yang dilakukan dengan komputer di kelas Fika? Fika menjawab 'not much'. Dia pun menjelaskan bahwa siswa diberi kesempatan ke komputer tiap pagi, sebelum bel sekolah bunyi. Tetapi hanya dua anak, karena dari 4 komputer yang tersedia, hanya dua komputer yang bisa dipakai untuk permainan tertentu. Saya mengerti maksudnya, mungkin karena tidak tersedia program yang lengkap di dua komputer tersebut, maka tidak semua online games bisa jalan.


Saya melanjutkan investigasi saya untuk mencari tahu seberapa banyak komputer yang bisa dimanfaatkan di kelas Fika. Jika pada Cawu 1, 2, 3 saya sudah berkesimpulan bahwa komputer tersebut jarang dimanfaatkan, maka saya curiga, siapa tahu di Cawu 4 inilah mereka pakai banyak komputer. Fika kan tiap cawu membayar uang komputer!!!

Fika pun menjelaskan, bahwa tampaknya gurunya kurang senang mengajar dengan memanfaatkan komputer.


Bukankah ini sebuah tantangan pagi para peneliti: Apa pentingnya menyiapkan barang mahal tersebut di kelas jika tidak digunakan atau tidak perlu digunkan?


Fika menjelaskan, gurunya tampak kurang senang mengajar dengan komputer. Dia senang mengajari mathematics, hand writing dan dalam Cawu ini akan diajar tentang Fantasy writing.

Saya pun menggunakan kesempatan ini untuk melacak apa saja sih yang anak ketahui tentang pelajaran di sekolahnya.


Dengan antusias, Fika menjelaskan makna 'Fantasy writing' dengan sangat dalam, yang intinya bahwa dia perlu menulis cerita fantasy. Fika pun menghubungkan dengan cerita fantasy yang telah dibacanya atau ditontonnya di TV. e.g The Witches. Banyak judul yang disebutnya, tapi saya tentu tidak ingat, maklumlah masa kecil jarang membaca karena tidak tersedianya buku. Seingat saya, waktu kecil hingga SMA, tidak punya TV. Juga saya pun tidak pernah menikmati perpustakaan. Wajarlah kalau Ibunya Fika tidak banyak tahu he he he. Kok bisa jadi PhD student ya? Wah ini namanya 'rahmat' kali ya.


Lanjut cerita, saya pun bertanya: "How do you do the Fantasy writing?" Maksud saya, gimana caranya nulis cerita fantasy. Fika pun menjawab, "Well, I do not know, my teacher has't taught us yet". Oh begitu ya, belum diajar toh sama gurunya. Tapi saya tidak berhenti sampai di situ. Saya nanya lagi (dasar Ibunya suka nanya kan?). "Menurut pikiran Fika bagaimana kira-kira ngerjakan Fantasy writing, your own ideas."

Fika pun menjelaskan dengan sangat lancar dengan bahasa sehari-harinya, yaitu in English(sedang Adiknya mendengar dengan penuh perhatian). Dia menjelaskan beberapa point secara berurutan yang artinya dalam bahasa Indonesia sbb.

  • Tentukan dulu temanya, cerita apa yang mau dituliskan, atau tentang apa.
  • Tentukan berapa pelaku dalam cerita itu.
  • Peran apa yang akan dijalankan oleh masing-masing
  • Di mana kejadiannya?
  • Kapan terjadinya?
Saya lumayan tercengang dengan penjelasannya. Soalnya, sepertinya hal seperti ini tidak saya pelajari saat saya SD, SMP, bahkan SMA. Saya baru belajar nulis saat di Universitas.

Sebelum melanjutkan cerita yang lebih menarik lagi setelah episode ini, saya ingin menulis: pelajaran apa sih yang bisa kita petik dari sini.
  1. Proses belajar pada anak terjadi di setiap saat. Saat bermain dengan temannya, saat menonton TV, mendengar guru, membaca buku, menjelaskan sesuatu pada adik dan Ibu Bapaknya, saat bertanya, saat bermain dengan komputer atau Internet, dll. Kerja otak selalu menghubungkan apa yang telah anak ketahui. Tugas orang dewasa (misal: guru atau orang tua) adalah perlu mendorong terjadinya proses belajar tersebut. Sesekali, manfaatkan saat mood anak untuk melacak apa yang telah diketahuinya. Bukankah ini membangun keterampilan komunikasi anak dan bukankah keterampilan ini dibutuhkan anak di masa-masa hidupnya.

  2. Informasi yang diperoleh anak dapat dari berbagai sumber. Guru bukanlah sumber informasi satu-satunya (seperti yang saya pikirkan saat masa sekolah dulu). Dalam kasus cerita di atas, ada banyak hal yang saya tidak ketahui tapi diketahui oleh Fika. Sama saja di kelas, ada banyak hal yang diketahui oleh anak dan belum/tidak diketahui oleh guru. Suatu hal yang sangat penting, urgen, dan mendesak bagi para guru untuk menyadari bahwa perannya bukan untuk 'mengajari atau memberi tahu' melainkan lebih pada 'membelajarkan' anak-anak kita. Peran guru adalah membawa anak terlibat dalam suatu proses pembelajaran, proses berfikir, dan proses perubahan ke hal yang lebih positif! Artinya guru harus selalu menanyai dirinya, bahwa apakah setiap anak belajar? Guru harus mengecek apakah mereka betul-betul belajar. Cara mengetahuinya bagaimana??????? Banyak caranya? Tidak ada satu rumus yang berlaku untuk setiap anak karena setiap anak 'unik'. Untuk itulah, guru perlu terus belajar untuk mengetahui hal-hal ini. Contoh yang saya lakukan adalah: bertanya dan mendengarkan serta mencermati penjelasan Fika. Pada saat yang sama, si Adik pun tentu belajar karena ikut mendengar cerita tersebut. Analognya, ketika guru menciptakan suasana komunikasi yang enak antar siswa, maka anak bisa belajar dari teman-temannya. Dan di sinilah inti dari teori belajar yang dikemukakan oleh Vygotsky.

Bagian 2:

Apa yang terjadi selanjutnya?

Fika menjelaskan penggunaan kidspiration untuk membantu menulis, yaitu penggunaan mindmapping. Wah, dia menjelaskan dengan sangat jelas sehingga saya mengerti apa yang dimaksudkan. Tentulah saya bertanya: dimana Fika mempelajarinya dan siapa yang mengajarinya. Dia mengatakan bahwa dia pelajari di 'smart room'. Semula saya mengira bahwa setting kelasnya berubah. Saya mengira dalam kelas ditetapkan area-area tertentu, dimana ada ruang baca, ruang tulis, ruang investigasi, ruang yang diklaim ruangan yang cerdas yang dilengkapi oleh teknologi komputer. Setting ruangan seperti ini telah saya lihat di kelas Fika (Year 1) dua tahun lalu.

Ternyata saya salah duga.


Ruang yang dimaksud adalah: lab komputer di mana ada banyak komputer, ada tiga meja besar dan ada data proyektor yang sudah permanen.

Fika menjelaskan bahwa telah dua kali mereka dibawa ke ruangan tersebut.


Setelah itu dia mengalihkan pembicaraanya ke yang lain yaitu tentang Photo story. Dia cerita bahwa Bapak wakil kepala sekolah Mr X sangat hebat dalam hal ICT. Beliaulah yang menginstall program Photo story dikomputer di kelasnya. Fika cerita bahwa Fika adalah satu-satunya siswa di kelasnya yang bisa membuat animasi pada photo story tersebut. Ini sangat wajar, karena Fika pernah mengerjakan hal ini di rumah. Ini pun menjadi bukti bahwa kemampuan yang dibawa siswa kita ke kelas sangat beragam, ditentukan oleh perolehan pengetahuan dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.

Fida pun mulai angkat bicara setelah nama Mr X di sebutkan. Dia bilang bahwa dia kenal baik dengan Mr X, punya baju putih, celana panjang biru dan berdasi panjang. Inilah hasil pengamatan Fida. Karena ketidakpuasan Fida yg tidak mendapat giliran cukup untuk bicara karena sang Kakak sangat serius mau menjelaskan sesuatu, Fida menunjukkan kekecewaannya dan meninggalkan tempat. Beberapa detik kemudian, saya mendengar dia membaca buku dengan suara keras, membaca gambar dan mendeskripsikannya dengan kata-kata sendiri.


Setelah Fika bercerita agak panjang tentang smart room (dalam hal ini saya dapat ide baru dari Fika), saya berfikir mengalihkan pembicaraan ke komputer di hadapan saya.


Mengingat tadi malam sebelum Fika tidur, dia ingin sekali mengetahui cara membuat link 'website mainan' ke blognya, sedangkan saya tidak sempat karena melayani permintaan adiknya untuk belajar membaca, maka pagi ini saya gunakan kesempatan untuk melakukan hal ini.


Fika pun mengetik websitenya http://fika-adventure.blogspot.com/, saya agak tercengang karena ini adalah blog yang baru saya lihat dan dia sign in dengan alamat emailnya dan password yang saya tidak ketahui. Dia bertanya, apakah saya tahu mengubah setting blog, merubah warna, atau hurufnya.

Saya bilang, saya tidak tahu. Dia pun menyela, ah saya kira Ibu sudah tahu. Lalu dia memperlihatkan caranya. Ini adalah cara saya memposisikan Fika sebagai ahli pada hal-hal tertentu.


Singkat cerita, setelah kami berdua mencari cara membuat link, akhirnya saya tinggalkan Fika untuk eksplorasi sendiri. Saya katakan saya juga belum tahu cara mudah membuat link dengan Blog Beta ini.

Saya harus melayani Adiknya yang sudah semakin cemburu dan merengek untuk diminta diajari membaca.

Alhasil, Fida jadi senang karena saya bantu bacakan bukunya dan sesekali memperkenalkan kata-kata tertentu, sedang Fika berhasil menempatkan link pada blognya "Fika's Game" dengan caranya sendiri.

Setelah saya memperhatikan blog Fika, saya menemukan hal baru lagi karena game http://www.marapets.com/ ini belum pernah saya lihat dan tidak pernah saya beritahukan Fika.

Ketika saya bertanya tahu dari mana website ini. Dengan singkat dia jawab "I found it by my self" dan kemudian Fika pun pergi sikat gigi dan berangkat sekolah.


Lalu pelajaran apa yang dapat kita petik dari dialog bagian kedua ini?

  1. Ini sebuah bukti bahwa betapa teknologi adalah dunia anak. ICT mungkin merupakan barang yang tidak terlalu kompleks. Jika kita yang dulunya banyak berinteraksi dengan pulpen, kertas, maka ini menjadi barang biasa bagi kita. Demikian juga anak kita yang sering berinteraksi dengan komputer atau program-program digital. Otak mereka secara cepat bisa beradaptasi. Fika sangat berbeda dengan Ibunya. Pelajaran yang menggunakan komputer adalah hal yang mengerikan saat saya di S1 dulu. Saya baru mulai belajar mengetik dengan program CW (Chi Writer ya?) saat saya ngambil S2 di IKIP Surabaya. Komputer bukanlah barang yang bersahabat bagi saya, sedang bagi Fika dan Fida yang usia masing-masing 8 dan 5 tahun, komputer hanya seperti pulpen, pensil atau mainan. Apa konsekswensi dari ini semua? Bagi guru, ini suatu hal yang serius. Pengajaran sebaiknya mempertimbangkan konteks kehidupan anak. Pembelajaran di sekolah bukanlah sesuatu yang terisolasi. Jika guru mengharapkan siswa terlibat aktif dalam membangun pemahamanya, atau aktif belajar, maka guru harus mengkaitkan pengajaran itu dengan apa yang dipahami siswa atau menghubungkan dengan konteks kehidupan siswa. Contoh konkrit, Jika siswa tahu dan bersahabat dengan blog, mengapa guru tidak memanfaatkan situasi ini untuk mendorong siswa terus membangun keterampilan menulisnya, keterampilan berkomunikasi, dan berkreativitas. Oleh karena itulah, kajian tentang blog untuk belajar menjadi urgen. Is the blog as a learning tool? Jika mau tahu peran blog dalam pembelajaran, klik di sini.

  2. Melayani dua anak bagi saya kadang-kadang tidak mudah. Melayani anak-anak satu persatu di kelas (yang jumlahnya sekitar 20 bahkan kadang-kadang lebih 40 anak) adalah hal yang sangat sulit dilakukan jika tidak tahu triknya. Sebagai akibat, fenomena yang umum terjadi adalah guru mengajar dengan ceramah, dimana semua anak diminta duduk rapi untuk mendengarkan ceramah guru. TIDAK PEDULI BAHWA SEMUA ANAK BERBEDA KEBUTUHAN DAN GAYA BELAJARNYA. tIDAK PEDULI BAHWA MEREKA BOSAN, MEREKA SUDAH TAHU, ATAU TIDAK PEDULI BAHWA MEREKA SEBENARNYA SULIT MEMAHAMINYA. Akibat lainnya, karena dasar anak yang biasanya punya keinginantahuan, mau bertanya, tidak betah dengan hal yang tidak sesuai dengan dirinya, maka kadang-kadang mereka gelisah, berbisik, bercerita atau melakukan hal yang sudah tidak relevan dengan kegiatan belajar. Banyak guru yang menyikapi hal ini dengan 'marah' . Bukankah ini tidak adil? Tidak Bijaksana? Menantang kodrat manusia kan? Oleh karena itu, guru saatnya harus berfikir untuk menciptakan suasana dimana bukanlah dia satu-satunya yang bisa melayani keinginantahuan anak.

  3. Poin ke-2 diatas mengingatkan kunjungan saya di suatu kelas unggulan di Kabupaten Barru. Salah satu pertanyaan yang saya ajukan pada siswa adalah, "saya adalah dosen yang turut bertanggung jawab dalam memproduksi guru. Berilah saran pada saya tentang guru yang baik menurut kalian. Saran itu penting bagi saya dalam membantu mengarahkan para calon guru. Selang beberapa menit, tidak seorang pun siswa yang mau mengajukan pendapat. Setelah memahami bahwa mereka tidak akan berani maju satu persatu ke depan kelas sedangkan guru dan kepala sekolah bersama saya atau mereka mungkin malu-malu, maka saya dengan segera meminta mereka mendiskusikan dalam kelompoknya. Merekapun berbisik-bisik atau berdiskusi dengan teman-temannya. Beberapa menit kemudian saya mendatangi kelompok-kelopmok tsb. Mereka dengan semangatnya menyampaikan ciri-ciri guru yang baik, antara lain yang memberi kesempatan pada siswanya untuk menjelaskan kepada siswa lainnya di depan kelas, mengetahui apa yang disenangi siswanya, tidak marah-marah ketika siswanya sudah stres mengerjakan soal matematika, menyiapkan waktu diskusi bagi anak, dan lain-lain. Lebih dari 30 ide dari siswa tentang guru yang baik.
  4. Fida, si adik masih mampu memperlihatkan protesnya secara nyata pada saya ketika saya melayani Sang Kakak. Hal ini karena saya punya kedekatan dengan dia. Bagaimana mungkin reaksi semacam ini dapat ditunjukkan pada anak-anak di kelas ketika hubungan antara siswa dan guru tidak sedekat dengan hubungan saya dengan anak. Maka, bisa diduga, yang terjadi pada anak di kelas yang tidak suka atau tidak puas dengan gurunya.

  5. Kasus ini juga menunjukkan bahwa sikap mandiri Fika memudahkan saya melayani Fida. Saya percaya bahwa dia bisa melakukan sesuatu yang lebih kompleks. Bagi para guru, sikap mandiri seperti inilah yang harus kita bangun pada diri anak. Hal ini tidak akan mungkin terjadi jika cara pengajaran guru yang hanya berdiri di depan kelas, yang hanya ceramah, dan meminta siswa mengerjakan soal-soal yang sama atau serupa yang diajarkan oleh siswanya. Fenomena ini banyak sekali saya temukan di sekolah-sekolah Indonesia.

Demikianlah cerita nyata yang saya angkat untuk kita (khususnya bagi orang tua dan guru) untuk dicermati. Sebelum selesai, saya menegaskan bahwa anak-anak kita potensial. Jangan kita hancurkan potensi mereka. Jangan kita kubur kehebatan berfikir mereka dan marilah kita maknai apa yang dimaksud dengan 'MEMANUSIAKAN MANUSIA' dan mari kita maknai apa maksud dari Sang Maha Pencipta bahwa setiap manusia adalah unik.

Semoga bermanfaat

http://fidacreative.blogspot.com/

http://portfolio-fida.blogspot.com/

Tuesday, March 20, 2007

Refleksi mengapa anakku tidak mau ke sekolah hari ini

Karena ada sedikit masalah, saya yang rencananya segera fokus pada analisis data saya jadi tertunda dulu.
Mengapa?
Kejadiannya terjadi begitu tiba-tiba. Tapi biarkan saya mencermatinya karena ini mungkin pelajaran buat saya.
Masalahnya: Fida (anak kedua saya yg sekolah di Prep) yang telah begitu siap untuk ke sekolah, tiba-tiba tidak mau ke sekolah tanpa diantar Ayahnya, lalu tiba-tiba memutuskan ingin tinggal di rumah. Mengapa demikian?


  • Mungkinkah ini semua karena ketidakahlian saya dalam menangani anak?
  • Mungkinkah ini terjadi karena rasa egoisme yang saya miliki dimana saya terlalu memikirkan berharganya waktu untuk study saya?
  • Mungkinkah karena agak lelah, telat tidur semalam, tidur 4 jam tapi kaya'nya sambil mikir, bangun pagi trus review tulisan dan masak buat makanan keluarga, trus mikirin target mau lanjutin analisis data dan nulis? serta kerjaan lainnya. Kok hidup jadi begitu hectic ya, padahal dulu saya pikir kerjaan sy bakal lebih banyak jadi Ibu rumah tangga atau jadi guru di kampung.
Hipotesis saya adalah bahwa reaksi anak dapat dipicu oleh orang tuanya.
Mari kita lihat:


  • Fika bangun pagi dan menemukan saya belajar di tempat tidur, saya pun segera menghentikan aktivitas saya dan memeluknya, menciumnya. Intinya saya gemas banget sama dia. Maklumlah usianya 5 tahun dan dia sedang dalam perkembangan. Lucu banget apalagi ketika dia berupaya mengungkapkan idenya.

Saya jadi teringat gayanya semalam dia mendatangi saya membawa kertas banyak, katanya dari Home Folder dia. Ini kejadian menarik loh!!! karena homefolder yg seharusnya dicek oleh orang tua setiap hari, beberapa hari ini saya lupa, jadi barangkali itu gabungan informasi. lalu dia katankan "sharing time", dia mau presentasi di hadapan saya, meniru gaya kakaknya. Karena pada saat yg sama Kakaknya yg ingin nulis di Blognya "all about Fika" mendapat kesulitan dengan password gara-gara ada versi baru si Blogger, sy jadi bantuin si Kakak. Dengan sabar sang Adik Fida mengingatkan saya sambil bilang "timing please" and "I am waiting". Setelah itu akhirnya kami pun masuk ke kamar saya dan memperhatikan Fida sharing. Sunggu menarik

  • Kembali ke kasus Fida tadi pagi, Fida akhirnya pun siap ke sekolah. Dia pakai baju sendiri, sarapan sendiri. Ayah pun yg tampak masih capek ikut berperan mengikat rambut si Fida. Pada dasarnya kedua anak saya Fika dan Fida lumayan independen dalam mempersiapkan segalanya untuk sekolah. Kami hanya jadi reminder/supervisor untuk mengecek segala sesuatunya.
  • Fida dan Fika pun dengan ceria keluar rumah dan bermain sambil menunggu teman saya Pak Dars karena kami sudah sepakat "car pooling". Sedangkan saya masih sibuk mempersiapkan segala sesuatu yg akan saya bawa.
  • Berhubung karena tas saya lumayan berat, bawa laptop dan buku-buku serta sekotak bubur kacang ijo, saya memutuskan minta tolong suami untuk ngantar saya ke kampus. Saya agak merasa lemas untuk bawa bawaan yg berat tsb. Respon suami OK dan bahkan memberi usulan untuk kami mengantar sekalian Fika dan Fida ke sekolah. Sang Adik Fida mungkin jadi gembira sekali karena akan di antar oleh Ayahnya yg selama ini nyaris tak pernah mengantarnya (karena perjanjian 'car pooling' dg teman-teman tetangga). Suami hanya bertugas jemput anak-anak tiap sore.
  • Saat kami telah siap berangkat, tiba-tiba Pak Dars datang. Saya bertanya apakah Pak dars akan ke kampus? jawabnya Iya. Dengan demikian saya mengubah keputusan untuk ikut saja di mobil Pak Dars bersama Adik Fida.
  • Mulailah muncul masalah. Si Fida menolak dan ingin diantar oleh Ayahnya.
  • Saya sedikit memaksakan ke Fida agar kami ikut Pak Dars sehingga suami saya bisa istirahat. Maklum semalaman tidak tidur karena dinas malam. Bukankah ini suatu yg tidak konsisten. Tadi saya mikirkan supaya suami bisa nolong ngantar saya, sekarang saya mikirkan supaya suami bisa istirahat.
  • Singkat cerita, Fida yg sudah naik di mobil menangis dan memberontak. Saya cuma mikir bahwa saya bakal repot di sekolah kalau Fida jadi tetap nangis. saya pun berkomentar, kalau begitu Fida tidak usah sekolah. Eh, dia malah setuju. Ya sudah akhirnya dia turun dari mobil dan saya serahkan Fida ke Ayahnya dengan harapan Ayahnya bisa nyelesaikan masalah Fida.
  • Apa yg terjadi kemudian. Karena proses refleksi cepat terjadi pada diri saya, saya jadi sadar bahwa sebenarnya hal ini terjadi karena kelalaian orang tua khususnya saya. Saya pun memutuskan untuk menelpon suami. Ternyata suami telah memutuskan supaya biarin saja Fida tinggal di rumah. Dia dibiarkan sendiri, TV dimatikan dan Ayahnya pun pergi tidur.
  • Saya pun meminta Ayahnya untuk mengupayakan agar dia bisa sekolah dan berangkat dengan hati yg plong, bahagia. Saya terlalu percaya bahwa jika si anak berangkat ke sekolah tanpa membawa masalah ke sekolah, kemungkinan dia bisa belajar dengan lebih baik dan dia bisa lebih percaya diri. Tapi keputusan suami, biarkan dia seperti itu agar dia belajar. Barangkali maksud suami agar dia tahu rasa bagaimana tidak enaknya tidak ke sekolah. Apalgi suami saya sudah ngantuk sekali.
  • Bujukan saya pada Ayahnya tidak mempan. Saya katakan bahwa berjuanglah agar anaknya bisa berhasil sekolah dg baik dan setelah ngantar anak, Ayahnya bisa tidur bahkan hingga sore hari. Tapi Ayahnya sudah tegas memutuskan dan beliaunya benar2 ngantuk. "Ya sudahlah" begitu pikir saya.

Pertanyaan saya, apa sih yg dapat saya pelajari dari satu kasus ini?

  1. Saya seharusnya lebih banyak belajar untuk bersifat konsisten. Saya perlu belajar mengambil keputusan secara tepat dan cepat. Sikap Fida yg tidak kami sepakati adalah sesungguhnya dipicu oleh sikap orang tuanya yang mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan sedikitpun efek terhadap anaknya. Akan mungkin lebih bijaksana jika keputusan seperti ini diambil tanpa harus diperdengarkan. Negosiasi antar suami dapat dengan cara bisikan. Cara ini toh lebih mesra menurut akal sehat dan perasaan sehat saya.
  2. Menurut pengamatan saya, anak-anak kita sering jadi korban orang dewasa khususnya orang tua. Bayangkan, kita saja orang dewasa kadang tidak mood dalam mengerjakan sesuatu, begitu pula tentunya dengan anak. Nah saat kita melihat anak kita tidak mengerjakan sesuatu yg dia tidak inginkan, banyak orang tua yg menanggapinya dengan marah. Kadang-kadang ini pun terjadi pada saya.
  3. Sebenarnya, Fida pasti mempunyai alasan yg banyak. Di pikiran mereka, banyak hal yang tidak sempat atau tidak dapat dikomunikasikan. Buktinya dia bisa memberikan banyak argumen secara panjang lebar ketika dia diberi kesempatan banyak untuk berbicara dalam suasana yg menyenangkan dan penuh keakraban

Demikian refleksi saya. Ya Allah, semoga saya dapat belajar banyak dari titipanMu ya Allah. Engkau mengamanahkan dua permata Fika dan Fida untuk saya bimbing, jaga, didik, agar kelak dia bisa menjadi manusia yg bermanfaat. Semoga anak-anakku dapat belajar hal yang baik dari Ibunya, sebagaimana saya telah menemukan pelajaran penting dari Ibu saya seperti yg saya tuliskan di "cerita kehidupan".

Mereka tidak tahu warna masa depannya. Mereka belum mengerti tantangan berat dari kehidupan masa depan mereka. Mereka pun belum mengerti arti dari tanggung jawab kehidupan. Kami orang tua nya yang diamanhi untuk mempersiapkan hidup masa depan mereka.

Hanya kekuatan, kemampuan, ridho dari-Mu lah untuk kami bisa mendidiknya secara baik.

Maafkan Hamba-Mu ya Allah. Fida, maafkan saya atas kekurangan yg saya miliki. Bukankah saya telah menyadarinya sejak dulu bahwa saya belajar menjadi Ibu yang baik seperti yang telah saya tuliskan di sini.

Tuesday, February 6, 2007

Saya sedikit terkejut tadi pagi. Mengapa?

Tiba-tiba Fika (Kelas 3 di Primary school) tidak mau ke sekolah. Ayahnya terus menanyainya dalam bahasa Indonesia dan dia terus menjawabnya dalam bahasa Inggris. Karena penjelasan si Fika terlalu panjang dan kurang jelas, Ayahnya tampak sulit memahami apa sih maunya si Anak ini. Saya pun terpaksa menghentikan kesibukan saya di dapur (mempersiapkan sarapan dan bekal buat sekolah Fika Fida) dan meminta Fika duduk dan menjelaskan apa maunya pagi itu. Saya bilang sama dia: 'I am quite dissapointed this morning. Can you you sit down here?' Saya sedikit agak kecewa karena Fika tidak segera bangun dan bergegas menyiapkan segala keperluan untuk sekolah hari ini. Namun, saya sadar bahwa saya perlu tahu apa keinginan dia dan pemikiran dia.
Saya pun menanyainya: 'What's wrong with you Fika?'
Trus dijawab: 'I don't want to go to school!' Saya jadi penasaran untuk tahu alasannya. Segera saya ambil secarik kertas dan pulpen untuk menulis alasannya. dan saya bertanya: 'What' s you reason?' Trus dia mulai menjelaskan:
'it's boring Mum' saya jelas menanyainya 'Why?'
Trus dijelaskannya satu persatu alasannya antara lain: 'there are no lots of fun staff at school'. Saya nanya lagi. 'What do you mean fun staff?'. Trus dikatakan 'like arts, activities' Saya tanya lagi 'what do you mean with activities?". Dijelaskan lagi 'like learning about pattern, using blocks, counters'. Dia nambahkan 'we only learnt about mathematics'. 'What maths?' tanya saya lagi. 'some easy staff like 9 take away 3, 9 take away 5'. saya tanya lagi: 'what about spelling?'. Dijawabnya: 'Yeah I learnt spelling but it's too easy'. Trus saya tanya. 'Do you have a homework?'. Trus dia bergegas ngambil homeworknya tentang spelling. Disana ada daftar 3 kata untuk setiap hari harus bisa dieja dan harus ditanda tangani oleh orang tua. Trus saya tes deh dengan mengajukan pertanyaan: How do you spell ........ Semua kata 5 hari x 3 kata = 15 kata dapat di eja dengan sangat lancar. Pikir saya, benar juga bahwa emang semua ini gampang. Malah dalam proses tes ini, dia balik nanya ke saya 'what do you mean Mum?' Maklumlah dia kali tidak jelas apa yg saya maksud 'glasses atau classes' Soal ini mah lidahku sudah tidak bisa dibentuk untuk good pronounciation.

Sambil nanya saya juga mikir. Duh saya bingung juga. Saya dapat ide: saya katakan, kamu bilang matematikanya mudah tapi kok mau pakai counters (semacam koin yg berwarna-warni). Trus dia bilang 'to stack on' atau untuk disusun-susun.
Wah, saya pikir anakku ini terus ingin belajar sambil main-main.
Trus saya cuma bisa jelaskan bahwa dalam belajar kita tidak harus selalu pakai mainan. Di kelas 1 dan 2 memang Siswa banyak main sambil belajar.
Saya berikan contoh, 'You see Mum, Mum enjoys learning without using blocks'. Ini sih argumen jelek karena masa iya saya mau bandingkan Fika (baru masuk Kelas 3) dengan ibunya yg sedang study PhD. Lagian dalam study PhD saya tidak enjoy terus-terusan malah banyak stressnya saking susahnya. Trus saya memberi argumen tambahan lagi 'you are lucky. You know Fika, when Mum was at school, primary school, no games at all in the classroom, just sitting down and listen to the teacher.' wah ini mah argumen klasik seperti ibu saya selalu mengatakan misalnya: 'saya dulu pernah mau makan tapi tidak punya nasi, sekarang kamu ada nasi' Itu argumen ibu untuk melarang kita-kita protes jika tidak punya lauk pauk.
Entahlah apa yg dipikiran Fika ketika saya coba memberi argumen di atas. Anak-anak saya kan selalu juga punya argumen terhadap apa yang kita katakan.
Akhirnya saya bernegosiasi agar dia pergi sekolah dan saya janji untuk bertemu gurunya dan membicarakan masalah ini. Saya juga tidak boleh hanya memandang sepihak sih. Saya juga perlu tahu siapa guru dia dan apa program mengajarnya.
Mari kita coba mengambil hikmah atas kejadian ini
Dalam hati saya, ada sih pertentangan atau ketidakpuasan atas jawaban saya. Tapi maksud saya:
  • dia perlu belajar bersyukur.
  • Belajar tidak selalu berarti bermain. Ke sekolah tidak selalu untuk bermain. Pikir saya, dia juga perlu tahu bahwa banyak variasi kehidupan di mana pada saat-saat tertentu kita menghadapi masa sulit.
  • Cara belajar itu juga banyak caranya.
  • saya sih paham kalau pasti dia tidak senang belajar hitung-hitungan yg mudah apalagi dirumah selalu minta pertanyaan matematika yang sudah jauh lebih kompleks. Dalam beberapa kesempatan saya melatihkan thinking mathematically.

Kasus Fika diatas patut kita cermati secara baik. Artinya apa, bahwa terlalu besar kemungkinan karena peran guru dapat mengakibatkan hal yang sangat kontras:

  • Misalnya: dari anak yang sangat termotivasi sekolah menjadi anak benci dengan sekolah.
  • Sebaliknya anak yg tidak semangat sekolah, menjadi membayangkan terus ingin hadir di kelas dan melakukan aktivitas belajar di sekolahnya.
  • Tentunya, kita juga harus melihat bahwa dibutuhkan komunikasi yg baik antar berbagai pihak, pihak orang tua anak, pihak orang tua dan guru, serta guru dan siswa.

Apa sebenarnya kriteria kualitas pengajaran yg baik?

Menurutku, kualitas itu sangat ditentukan oleh seberapa jauh para siswa memperoleh pengetahuan baru atau pemahaman yang baru. Ditentukan oleh sejauh mana anak memahami sesuatu.

Jadi jika kita ingin tahu kualitas pengajaran kita, maka upayakanlah tahu apa yang dipelajari dan sudah diketahui oleh siswa kita. Apa yang baru dipelajari hari demi hari. Dan inilah esensi dasar dari asesmen kelas (classroom assessment).

Kembali ke masalah Fika. Mari kita lihat bahwa dia bersekolah di sekolah yang sangat kaya di Brisbane, Australia. Mereka tidak kekurangan dengan kertas berwarna-warni, dengan segala macam alat tulis, alat mewarnai, dan di dalam kelasnya ada 4 komputer dengan kecepatan koneksi Internetnya yang sangat cepat, tersedia banyak buku bacaan, buku pelajaran di kelas maupun di library dengan ruangan yang ber AC. Kalau masalah fasilitas belajar. Sangat HEBAT!

Tapi apa yang menjadi kunci dari semua itu. Kuncinya adalah pada guru. Mampukah sang guru menarik minat siswa untuk belajar? mampukah sang guru mengukur kebutuhan-kebutuhan individu dari ke 25 siswanya. Kita bayangkanlah bagaimana seorang Ibu yang kadang kewalahan hanya dengan mengurusi satu atau dua anak di rumah. Bagaimana dengan guru yang dituntut dengan banyak hal. Pertanyaan menggelitik ini seharusnya memperkuat betapa pentingnya dan kompleksnya posisi seorang guru.

Artinya guru terlalu berhak mendapat penghargaan atau gaji yang tinggi.

Tapi guru juga harus mau terus belajar, memperbaiki kualitas pengajarannya, berkomitmen untuk mempersiapkan masa depan anak, menjadikan pengajaran sebagai ajang pengabdian hidupnya.

Demikian catatan pemikiran pagi ini yang saya tulis sebelum memulai tugas study PhD saya hari ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat.