Tuesday, February 6, 2007

Saya sedikit terkejut tadi pagi. Mengapa?

Tiba-tiba Fika (Kelas 3 di Primary school) tidak mau ke sekolah. Ayahnya terus menanyainya dalam bahasa Indonesia dan dia terus menjawabnya dalam bahasa Inggris. Karena penjelasan si Fika terlalu panjang dan kurang jelas, Ayahnya tampak sulit memahami apa sih maunya si Anak ini. Saya pun terpaksa menghentikan kesibukan saya di dapur (mempersiapkan sarapan dan bekal buat sekolah Fika Fida) dan meminta Fika duduk dan menjelaskan apa maunya pagi itu. Saya bilang sama dia: 'I am quite dissapointed this morning. Can you you sit down here?' Saya sedikit agak kecewa karena Fika tidak segera bangun dan bergegas menyiapkan segala keperluan untuk sekolah hari ini. Namun, saya sadar bahwa saya perlu tahu apa keinginan dia dan pemikiran dia.
Saya pun menanyainya: 'What's wrong with you Fika?'
Trus dijawab: 'I don't want to go to school!' Saya jadi penasaran untuk tahu alasannya. Segera saya ambil secarik kertas dan pulpen untuk menulis alasannya. dan saya bertanya: 'What' s you reason?' Trus dia mulai menjelaskan:
'it's boring Mum' saya jelas menanyainya 'Why?'
Trus dijelaskannya satu persatu alasannya antara lain: 'there are no lots of fun staff at school'. Saya nanya lagi. 'What do you mean fun staff?'. Trus dikatakan 'like arts, activities' Saya tanya lagi 'what do you mean with activities?". Dijelaskan lagi 'like learning about pattern, using blocks, counters'. Dia nambahkan 'we only learnt about mathematics'. 'What maths?' tanya saya lagi. 'some easy staff like 9 take away 3, 9 take away 5'. saya tanya lagi: 'what about spelling?'. Dijawabnya: 'Yeah I learnt spelling but it's too easy'. Trus saya tanya. 'Do you have a homework?'. Trus dia bergegas ngambil homeworknya tentang spelling. Disana ada daftar 3 kata untuk setiap hari harus bisa dieja dan harus ditanda tangani oleh orang tua. Trus saya tes deh dengan mengajukan pertanyaan: How do you spell ........ Semua kata 5 hari x 3 kata = 15 kata dapat di eja dengan sangat lancar. Pikir saya, benar juga bahwa emang semua ini gampang. Malah dalam proses tes ini, dia balik nanya ke saya 'what do you mean Mum?' Maklumlah dia kali tidak jelas apa yg saya maksud 'glasses atau classes' Soal ini mah lidahku sudah tidak bisa dibentuk untuk good pronounciation.

Sambil nanya saya juga mikir. Duh saya bingung juga. Saya dapat ide: saya katakan, kamu bilang matematikanya mudah tapi kok mau pakai counters (semacam koin yg berwarna-warni). Trus dia bilang 'to stack on' atau untuk disusun-susun.
Wah, saya pikir anakku ini terus ingin belajar sambil main-main.
Trus saya cuma bisa jelaskan bahwa dalam belajar kita tidak harus selalu pakai mainan. Di kelas 1 dan 2 memang Siswa banyak main sambil belajar.
Saya berikan contoh, 'You see Mum, Mum enjoys learning without using blocks'. Ini sih argumen jelek karena masa iya saya mau bandingkan Fika (baru masuk Kelas 3) dengan ibunya yg sedang study PhD. Lagian dalam study PhD saya tidak enjoy terus-terusan malah banyak stressnya saking susahnya. Trus saya memberi argumen tambahan lagi 'you are lucky. You know Fika, when Mum was at school, primary school, no games at all in the classroom, just sitting down and listen to the teacher.' wah ini mah argumen klasik seperti ibu saya selalu mengatakan misalnya: 'saya dulu pernah mau makan tapi tidak punya nasi, sekarang kamu ada nasi' Itu argumen ibu untuk melarang kita-kita protes jika tidak punya lauk pauk.
Entahlah apa yg dipikiran Fika ketika saya coba memberi argumen di atas. Anak-anak saya kan selalu juga punya argumen terhadap apa yang kita katakan.
Akhirnya saya bernegosiasi agar dia pergi sekolah dan saya janji untuk bertemu gurunya dan membicarakan masalah ini. Saya juga tidak boleh hanya memandang sepihak sih. Saya juga perlu tahu siapa guru dia dan apa program mengajarnya.
Mari kita coba mengambil hikmah atas kejadian ini
Dalam hati saya, ada sih pertentangan atau ketidakpuasan atas jawaban saya. Tapi maksud saya:
  • dia perlu belajar bersyukur.
  • Belajar tidak selalu berarti bermain. Ke sekolah tidak selalu untuk bermain. Pikir saya, dia juga perlu tahu bahwa banyak variasi kehidupan di mana pada saat-saat tertentu kita menghadapi masa sulit.
  • Cara belajar itu juga banyak caranya.
  • saya sih paham kalau pasti dia tidak senang belajar hitung-hitungan yg mudah apalagi dirumah selalu minta pertanyaan matematika yang sudah jauh lebih kompleks. Dalam beberapa kesempatan saya melatihkan thinking mathematically.

Kasus Fika diatas patut kita cermati secara baik. Artinya apa, bahwa terlalu besar kemungkinan karena peran guru dapat mengakibatkan hal yang sangat kontras:

  • Misalnya: dari anak yang sangat termotivasi sekolah menjadi anak benci dengan sekolah.
  • Sebaliknya anak yg tidak semangat sekolah, menjadi membayangkan terus ingin hadir di kelas dan melakukan aktivitas belajar di sekolahnya.
  • Tentunya, kita juga harus melihat bahwa dibutuhkan komunikasi yg baik antar berbagai pihak, pihak orang tua anak, pihak orang tua dan guru, serta guru dan siswa.

Apa sebenarnya kriteria kualitas pengajaran yg baik?

Menurutku, kualitas itu sangat ditentukan oleh seberapa jauh para siswa memperoleh pengetahuan baru atau pemahaman yang baru. Ditentukan oleh sejauh mana anak memahami sesuatu.

Jadi jika kita ingin tahu kualitas pengajaran kita, maka upayakanlah tahu apa yang dipelajari dan sudah diketahui oleh siswa kita. Apa yang baru dipelajari hari demi hari. Dan inilah esensi dasar dari asesmen kelas (classroom assessment).

Kembali ke masalah Fika. Mari kita lihat bahwa dia bersekolah di sekolah yang sangat kaya di Brisbane, Australia. Mereka tidak kekurangan dengan kertas berwarna-warni, dengan segala macam alat tulis, alat mewarnai, dan di dalam kelasnya ada 4 komputer dengan kecepatan koneksi Internetnya yang sangat cepat, tersedia banyak buku bacaan, buku pelajaran di kelas maupun di library dengan ruangan yang ber AC. Kalau masalah fasilitas belajar. Sangat HEBAT!

Tapi apa yang menjadi kunci dari semua itu. Kuncinya adalah pada guru. Mampukah sang guru menarik minat siswa untuk belajar? mampukah sang guru mengukur kebutuhan-kebutuhan individu dari ke 25 siswanya. Kita bayangkanlah bagaimana seorang Ibu yang kadang kewalahan hanya dengan mengurusi satu atau dua anak di rumah. Bagaimana dengan guru yang dituntut dengan banyak hal. Pertanyaan menggelitik ini seharusnya memperkuat betapa pentingnya dan kompleksnya posisi seorang guru.

Artinya guru terlalu berhak mendapat penghargaan atau gaji yang tinggi.

Tapi guru juga harus mau terus belajar, memperbaiki kualitas pengajarannya, berkomitmen untuk mempersiapkan masa depan anak, menjadikan pengajaran sebagai ajang pengabdian hidupnya.

Demikian catatan pemikiran pagi ini yang saya tulis sebelum memulai tugas study PhD saya hari ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

5 comments:

Unknown said...

mbak, maaf ya, kayaknya "stuff" deh bukan "staff"...eh bener nggak ya, sorry aku udah lupa2 bahasa inggris nih! salam buat keluarga ya...

Mika Halpin said...

Bu Sitti,
approachment bu Sitti ke Fika untuk mengetahui apa yang salah dengan Fika sehingga dia tidak mau sekolah sangat menarik buat saya.

Yang membuat saya sedih,
kondisi guru di Indonesia sangat menyedihkan. Saya selalu berfikir betapa banyak ilmu yang mereka kasi ke saya, tapi mereka mendapat penghasilan yang kurang pantas.
*jadi inget salah seorang guru Sekolah Dasar saya...*

Unknown said...

HI Sitti,

Salam kenal! Saya Iwan, lagi merantau juga nyari ilmu tapi saya di Amrik, di Teachers College, Columbia Univ. Saya barusan liat2 blog2nya. Banyak sekali ya... hehe... bagus2...Itu iseng2 semua apa gimana? Kenapa tidak digabung saja menjadi beberapa biar lebih fokus? Just an idea...

Saya senang kalau ada guru Indonesia yang juga fokus ke Teacher Development, karena disini salah satu kunci reformasi pendidikan negeri kita. Kapan2 kita boleh diskusi ya mengenai masalah ini.

Sitti, lagi ngambil riset apa? Saya ada teman di kampus yang lagi mau meneliti tentang penggunaan internet sebagai media interaksi para guru2 dalam lesson planning, dsb. Dia dari Jepang, dan ingin meneliti tentang pemakaian semacam yahoogroups or googlegroups sebagai media diseminasi ide2 pelajaran bagi guru2 Indonesia. (Ada banyak ga ya di kita?) Dia ngga bisa neliti Jepang karena oleh departmentnya dia harus mengambil kasus di negara berkembang dan dia pernah mengajar di Surabaya selama 2 thn. So, mungkin kalian bisa saling bertukar info...

Gimana kuliah di Aussie? Saya suka artikel perkembangan anakku. Beruntungnya anak2 Sitti bisa dapat orang tua yang sangat perhatian akan perkembangan mereka. Salut!

O ya, email saya: iwansyahril@gmail.com. Mungkin respon ke sini aja ya.

Unknown said...

Daru sejak awal sy mengenal keluarga ibu, sy sudah yakin bahwa ibu adalah salah satu wanita inspiratifku dalam mengembangkan diri di dunia pendidikan,sampai2 sy bermimpi dan berkeinginan menempuh pendidikan ke luar negeri jika sudah diberi suami alias jodoh. Saya salut dgn ibu dan pak ihsan dalam membangun keluarga serta mendidik anak. Betapa beruntungnya ade Fida dan Kakak Fika memiliki ibu seperti ibu Sitti Maesuri dan Ayah seperti Pak Ihsan. Semoga keluarga ibu senantiasa sakinah mawaddah warahmah. Amin

pgsd said...

Bu Sitti, barusan senin kemarin Akmal tidak mau ke sekolah dan saya liburkan sehari. Terimakasuh tipsnya bu sitti...